MENGHINDARI MIDDLE INCOME TRAP DALAM PERSPEKTIF PEMERATAAN PEMBANGUNAN

18.03 Unknown 2 Comments


       Banyak prestasi ekonomi yang telah dicapai Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ditengah perlambatan ekonomi dunia, antara lain terjadi penurunan presentase angka pengangguran dari 11,9% pada tahun 2005 menjadi 7,39% pada tahun 2013 (BPS, 2013), tingkat pertumbuhan ekonomi yang selalu konstan di angka 6% dari tahun 2007 hingga tahun 2012 (Hatta Rajasa, 2012), GDP dan GNP per kapita yang hampir mengalami kenaikan hingga 6 kali lipat, dengan GDP per kapita tahun 2000 yang hanya sebesar U$D 677.5 menjadi U$D 3,650.8 pada tahun 2013 serta GNP perkapita tahun 2000 yang hanya sebesar U$D 632.5 menjadi U$D 3,537.8 pada tahun 2013 (BPS, 2013; *asumsi 1 U$D = Rp 10.000,-), rasio utang yang masih dalam level yang sehat pada akhir tahun 2014 yakni sebesar 23% dari GDP dan kini Indonesiapun telah tergabung dalam anggota G-20 dengan menjadi negara ke-16 dengan ekonomi terbesar didunia. Pencapaian tersebut mendapat banyak apresiasi serta pujian dari dunia internasional, bahkan membuat banyak lembaga-lembaga internasional merilis dan memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi moda penggerak ekonomi terbesar di Asia bersama China, India dan Jepang.

          Dalam laporannya, lembaga-lembaga rating internasional pada tahun 2013 memberikan respon yang positif terhadap perkembangan ekonomi Indonesia, seperti Fitch Ratings yang memberikan peringkat terhadap perekonomian Indonesia menjadi BBB-/stable outlook, Japan Credit Rating Agebcy Ltd. memberikan peringkat BBB-with stable outlook, S&P dan Moody’s yang masing-masing memberikan penilaian BB+level for long-term dan Baa3 with stable outlook (investment grade), yang artinya Indonesia dinobatkan menjadi salah satu negara yang layak diperhitungkan untuk tujuan investasi jangka panjang oleh kalangan investor. World Bank yang menaikan predikat Indonesia dari negara low income country menjadi lower middle-income country atas pencapaian kenaikan GNP, bahkan tak tanggung-tanggung dalam laporan perusahaan konsultan manajemen global, Mc Kinsey & Co mempublikasikan bahwa Indonesia berpotensi menjadi negara dengan perekonomian terkuat nomor 7 di dunia pada tahun 2030.

          Semua apresiasi yang dirilis oleh lembaga-lembaga Internasional tersebut tentu semua atas dasar yang kuat. Melihat pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang sangat impresif serta mempunyai potensi dengan didukung sumber daya alam yang kaya serta jumlah penduduk yang mencapai 250juta, kesemua hal itu memberikan legimitasi yang kuat, bahwa Indonesia pantas menjadi negara besar. Namun semua apresiasi dan prediksi tersebut hanyalah sebuah angan-angan jika Indonesia tidak bisa memanfaatkan momentum untuk dapat menggenjot ekonominya secara suistainable. Tantangan terbesar Indonesia kini adalah bagaimana mengelola penduduk yang besar jumlahnya. Beruntungnya, jumlah penduduk Indonesia kini di dominasi oleh penduduk berusia produktif yang berumur antara 15 hingga 64 tahun dan hal ini akan berlanjut hingga tahun 2030, itu artinya Indonesia kini tengah mendapatkan apa yang disebut dengan bonus demografi atau demografic dividend.

          Bonus demografi yang dimiliki Indonesia saat ini adalah sebuah tantangan sekaligus peluang, semua tergantung arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dengan jumlah tenaga kerja yang diperkirakan akan terjadi peningkatan sebesar 14,8juta pada tahun 2020 menjadi 189juta, jika bisa dimanfaatkan dengan maksimal bisa dibayangkan berapa arus perputaran uang yang terjadi setiap harinya dengan  jumlah tenga kerja sebanyak itu, bukan tidak mungkin prediksi Indonesia akan menjadi negara maju akan benar terjadi. Namun, perlu digaris bawahi, permasalahan Indonesia yang ada sekarang adalah jumlah tenaga kerja Indonesia yang kurang terampil karena masih didominasi oleh lulusan SD terlebih jumlah lapangan kerja yang terbatas dengan jumlah angkatan kerja selalu bertambah setiap tahunnya sebesar 2,5juta orang, membuat teknokrat Indonesia harus mulai mencari terobosan-terobosan baru dalam arah kebijakan pembangunannya. Dengan permasalahan tersebut, bonus demografi justru bisa menjadi bencana bagi Indonesia jika tidak bisa mengelolanya, layaknya bom waktu yang tinggal menunggu kapan bom tersebut akan meledak.

         Selain problematika dalam mengelola jumlah penduduk yang besar, Indonesia juga dihadapkan pada permasalahan jumlah penghasilan berdasarkan PNB per kapita yang masih bercokol dalam kategori lower middle income. World bank membagi negara berdasarkan kategori income sebagai berikut (lihat tabel 1.1) :


Kategori
PNB per kapita 2013
Low Income
< US$ 1.045
Lower Middle Income
US$ 1.045 – US$ 4.125
Upper Middle Income
US$ 4.125 – US$ 12.746
High Income
> US$ 12.746
Tabel 1.1

         Dengan kondisi seperti itu, membuat lembaga-lembaga internasional telah memberikan ‘sinyal’ bahwa Indonesia rentan terkena “Jebakan Kelas Menengah” atau biasa dikenal dalam kancah internasioanl sebagai “Middle Income Trap”. Middle Income Trap (MIT) adalah kondisi dimana suatu negara mengalami stagnansi pendapatan per kapita karena ketidakmampuan negara tersebut untuk mendorong ekonomi negaranya menuju arah negara dengan penghasilan tinggi (high income country) atau negara maju. Hal ini akan sangat berbahaya bagi negara yang terkena karena selama beberapa dekade negara tersebut tidak akan mengalami perubahan, baik kualitas sumber daya manusia maupun infrastukturnya. Contoh negara yang telah terkena jebakan ini adalah Afrika Selatan. Di era 1980-an Afrika Selatan telah masuk dalam negara kelas pendapatan menengah serta mengalami pertumbuhan yang pesat, sehingga banyak lembaga international yang memprediksi Afrika Selatan akan menjadi negara maju. Namun setelah tiga dekade berlalu nyatanya hingga kini Afrika Selatan tak mengalami perubahan signifikan, masih sama dengan Indonesia yang masuk dalam kategori middle income country.

          Banyak cara untuk bisa keluar dari MIT tersebut, antara lain; (1) perbaikan kualitas SDM melalui pendidikan, (2) mengubah pola ekspor dari ekspor basis sumber daya menuju ekspor barang & jasa yang mempunyai nilai tambah (value added), (3) pembangunan infastuktur yang inklusif serta pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Salah satu pembangunan infrastruktur yang inklusif serta sustainable adalah pemerataan pembangunan diberbagai daerah. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah telah mengantisipasi dalam suatu pembangunan yang ter-design dalam suatu road map nasional yang disebut dengan Master-Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Mei 2011. MP3EI merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan masuk dalam jajaran sepuluh negara dengan kekuatan ekonomi terbesar pada tahun 2025. Strategi utama pelaksanaan MP3EI adalah dengan mengembangkan 6 koridor ekonomi Indonesia yang dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan disetiap koridor dengan mengembangkan klaster industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang berbasis sumber daya unggulan disetiap koridor ekonomi (lihat tabel 1.2)


Pulau
Pengembangan Koridor
Koridor Sumatera
Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional
Koridor Kalimantan
Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional
Koridor Jawa
Pendorong Industri dan Jasa Nasional
Koridor Bali – Nus Tenggara
Pintu Gerbang Pariwisata Nasional dan Pendukung Pangan Nasional
Koridor Sulawesi
Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional
Koridor Papua – Kep. Maluku
Pengembangan Energi, Pangan, Pperikanan, dan Tambang Nasional
Tabel 1.2

         MP3EI adalah suatu master yang digunakan guna mendukung arah kebijakan pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan adanya road map tersebut, diharapkan arah kebijakan lima tahunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) akan mencapai pokok-pokok sasaran yang telah ditentukan. Adapun arah dan tujuan RPJM telah dibagi oleh pemerintah dalam 4 tahap, sebagai berikut:
RPJM ke-1 (2005-2009) diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia disegala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat.
RPJM ke-2 (2010-2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian.
RPJM ke-3 (2015-2019) ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh diberbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan iptek yang terus meningkat.
RPJM ke-4 (2020-2025) ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kukuh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing.

        Contoh nyata dari adanya MP3EI adalah kini pembangunan tidak hanya terpusat di pulau jawa, tapi telah tersebar ke berbagai daerah yang menjadi prioritas pembangunan, antara lain:
Koridor Sumatera: Pembangunan Jalur Ganda KA Double Track Medan-Bandara Internasional Kuala Namu senilai Rp878 miliar, pembangunan Jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi senilai Rp5,25 triliun, pembangunan PLTP Sarulla 1 330MW senilai Rp17,56 triliun, pembangunan Pabrik Oleochemical senilai Rp2,04 triliun, pengembangan Pelabuhan Container Batu Ampar Batam, revitalisasi pabrik pupuk PUSRI 2B senilai Rp6,24 triliun, pembangunan jaringan transmisi Jawa-Sumatera HVDC senilai Rp25,1 triliun, pembangunan PLTU Sumatera Selatan 8 2x620 MW senilai Rp14,04 triliun, pembangunan PLTU Banjarsari 2x110 MW senilai Rp2,88 triliun, pengembangan pariwisata tanjung lesung senilai Rp73,8 triliun, dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-api senilai Rp12,3 triliun.

Koridor Jawa: Pembangunan Terminal Multipurpose Teluk Lamong tahap 1 senilai Rp4,1 triliun, pembangunan Jalur ganda KA lintas utara Jawa Cirebon-Surabaya senilai Rp16,4 triliun, pengembangan Terminal Bandara Internasional Juanda senilai Rp1,05 triliun, pengembangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta senilai Rp26,2 triliun, pembangunan Bandara Internasional Kertajati senilai Rp8,2 triliun, pembangunan Jalan tol Cikampek-Palimanan senilai Rp1,25 triliun, pembangunan Jalur ganda KA dan elektrifikasi Serpong-Maja-Rangkasbitung senilai Rp1,5 triliun, pengembangan Pelabuhan tanjung emas, Semarang senilai Rp545 miliar, pengembangan PLTU Adipala 660 MW senilai Rp6,9 triliun, pembangunan Jalan tol Surabaya-Mojokerto senilai Rp3,1 triliun, pembangunan Jalan tol Mojokerto-Kertosono senilai Rp3,4 triliun, pembangunan Jalan tol Gempol-Pandaan senilai Rp1,1 triliun, pengembangan pelabuhan Branta senilai Rp158 miliar, pembangunan pabrik kendaraan bermotor R-4 senilai Rp11,8 triliun, pembangunan Pabrik Semen Merah Putih senilai Rp6,8 triliun, pembangunan Smelter 1.200 MT senilai Rp1,29 triliun, pembangunan Smelter 300 ribu ton senilai Rp3,6 triliun, dan pembangunan Smelter 243.600 ton senilai Rp4,02 triliun, pembangunan Smelter 100.000 MT senilai Rp1,9 triliun.

Koridor Kalimantan: Pengembangan Terminal Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan senilai Rp2,1 triliun, pengembangan tiga bandara di wilayah perbatasan senilai Rp390 miliar, pembangunan PLTG Kaltim Peaking 2x60 MW senilai Rp960 miliar, proyek PT Total Indonesia, Anjungan SISI-NUBI 2B di lepas pantai senilai Rp8,1 triliun, proyek Pengembangan Lapangan fasilitas lepas pantai dan gelar pipa lapangan ruby senilai Rp5,5 triliun, pembangunan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) senilai Rp34 miliar, pembangunan Institut Teknolohi Kalimantan (ITK) senilai Rp99 miliar, pembangunan PLTU Embalut, Unit 3 (50 MW) senilai Rp759 miliar, pembangunan PLTGU Senipah 2x41 MW senilai Rp2,1 triliun, pembangunan pabrik Smelter Grade Alumina senilai Rp25,3 triliun, dan pembangunan Chemical Grade Alumina Refinery (CGA) senilai Rp5,3 triliun.

Koridor Sulawesi: Pengembangan PLTA Poso II  3x65 MW senilai Rp3,8 triliun, pengembangan fasilitas pelabuhan pantoloan senilai Rp2,7 triliun, pengembangan Bandaran Mutiara Sis-Al Jufrie Palu senilai Rp836 miliar, pengembangan Jalur Kereta Api Lintas Makasar-Parepare senilai Rp6,4 triliun, Kawasan Ekonomi Khusus Palu senilai Rp1,7 triliun, Kawasan Ekonomi Khusus Bitung senilai Rp2,3 triliun, pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung senilai Rp4,3 triliun, pembangunan PLTU Takalar/Punagaya 2x100 MW senilai Rp2,8 triliun, pembangunan Kilang LNG Donggi-Senoro senilai Rp28 triliun, pembangunan PLTA Karama 450 MW senilai Rp9 triliun.

Koridor Bali-Nusa Tenggara: Pengembangan 3 Pelabuhan di Nusa Tenggara Barat senilai Rp231 miliar, pembangunan Kawasan Pariwisata Teluk Mekaki senilai Rp3 triliun, pembangunan Kawasan Pariwisata Tanjung Ringgit senilai Rp5 triliun, pembangunan BIP (Bali Internasional Park) senilai Rp4 triliun, pengembangan Resort pariwisata bukit doa senilai Rp100 miliar, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika senilai Rp30 triliun, pembangunan bendungan titab senilai Rp428 miliar, dan pembangunan Dam Raknamo senilai Rp1 triliun.

Koridor Maluku-Papua: Pengembangan Bandara di Tual, Maluku senilai Rp123 miliar, pembangunan Pelabuhan khusus tanjung buli senilai Rp226 miliar., pembangunan kawasan Industri Maritim Indonesia senilai Rp1,3 triliun, pengembangan Bandara Sentani, Papua senilai Rp1,1 triliun, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Morotai senilai Rp6,8 triliun, pembangunan Jaringan Backbone serat optik senilai Rp2,5 triliun, dan pembangunan Jalan trans papua (jalan P4B) senilai Rp11,3 triliun.

Serta masih banyak proyek-proyek MP3EI yang akan terus dikerjakan hingga tahun 2025 baik itu proyek prospektif maupun proyek potential yang ditaksir nilainya mencapai lebih dari Rp 3000 triliun.

PENUTUP:
Respon yang reaktif dari pemerintah Indonesia atas sinyal negatif yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional atas middle income trap patut diacungi jempol. Pemerintah harus banyak belajar dari Korea Selatan yang bisa keluar dari MIT. Indonesia dan Korea Selatan adalah dua negara dikawasan asia yang terkena dampak dari krisis ekonomi yang melanda Thailand pada tahun 1997. Namun semua tantangan itu kini dijawab Korea Selatan dengan take off jauh mendahului perekonomian Indonesia dengan menjadi salah satu negara basis industri manufaktur terbesar didunia dengan GDP sebesar US$ 1,304,554 millions. Menurut penulis, meskipun proyek MP3EI telah dilaksanakan guna menunjang pemerataan, namun sangat disayangkan karena faktor penggerak ekonomi Indonesia kini lebih banyak ditopang oleh konsumsi domestik yang selalu berada diatas 50% dari PDB jauh mengungguli sektor investasi. Bahayanya adalah, jika sektor konsumsi selalu menjadi motor penggerak tanpa diimbangi oleh investasi, maka Indonesia akan lebih banyak melakukan impor. Indonesia harus banyak belajar dari China, bagaiamana RRT mengelola basis penggerak ekonominya dari konsumsi menuju investasi, yang kini investasi berkontribusi hingga lebih dari 50% terhadap PDB nya. Kini bisa dilihat China adalah basis produksi manufaktur terbesar didunia, semua barang mulai dari alat tulis, alat rumah tangga, pakaian, makanan dan minuman, kosmetik, elektronik, handphone hingga kendaraan telah berlabelkan ‘made in china’. Penulis berharap pemerintah Jokowi memberi harapan besar atas pembangunan yang inklusif, dengan tahap awal pencabutan subsidi bbm yang dialihkan ke hal-hal yang lebih bersifat produktif terutama dalam hal pemerataan pembangunan guna menciptakan titik-titik ekonomi baru diberbagai daerah yang selama ini belum tergali secara maksimal. Semoga dengan mengubah pola masyarakat Indonesia yang konsumtif menjadi pola produktif dapat menjawab prediksi berbagai lembaga internasional bahwa Indonesia bisa keluar dari MIT dan menjadi "High Income Country”.

Semoga Bermanfaat!
Oleh: Muhammad Irfan Maulana

Daftar Pustaka

Malale, Aprisal dan Agus Maung Sutikno. 2014. Jurnal BPPK Volume 7 Nomor 2 2014: Analisis Middle-Income Trap di Indonesia. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Republik Indonesia.
Mustopadidjaja, dkk. 2012. BAPPENAS: Dalam Sejarah Prencanaa Pembangunan Indonesia 1945-2025. Jakarta: LP3ES.

2 komentar:

RESISTENSI KEPENTINGAN, DJP VS PERBANKAN

00.19 Unknown 1 Comments



        Melihat tren tax ratio Indonesia dalam satu dekade terakhir yang tak kunjung berubah di level 12%, mengindikasikan masih lemahnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia, salah satunya adalah database perpajakan yang buruk.
        Sudah 13 tahun reformasi birokrasi mengiringi perjalanan DJP menjadi institusi yang modern, namun hingga saat ini DJP masih saja tidak mempunyai data yang kongkrit untuk mengukur kuantitas seberapa besar Wajib Pajak harus membayar pajaknya secara real. Terlebih dengan diterapkannya sistem self assessment yang rentan menimbulkan tax avoidance, dengan mempunyai high quality database setidaknya dapat digunakan sebagai alat preventive control bagi Wajib Pajak yang ingin melakukan pengemplangan pajak. DJP sebagai institusi perpajakan di Indonesia, sudah sepatutnya mempunyai basis data wajib pajak yang kuat, database yang terintegrasi ke seluruh lembaga/instansi pemerintahan secara by system, misalnya data yang terintegrasi dengan KTP melalui Pemerintah Daerah serta data yang terintegrasi dengan simpanan nasabah melalui dunia Perbankan. Dengan terintegrasinya basis data pajak dengan berbagai lembaga/institusi pemerintah terkait, diharapkan akan membuka peluang potensi baru serta pengawasan yang semakin runcing, yang impact-nya adalah peningkatan penerimaan negara yang bersumber dari pendapatan pajak. Sayangnya, harapan DJP untuk mempunyai high quality database rasanya sangat sulit tercapai, terutama dalam hal membuka rahasia bank.
        Sebenarnya untuk dapat membuka akses perbankan bukanlah sesuatu yang haram bagi DJP, karena sudah ada aturan hukum Perundang-undangan yang mengatur, namun aturan tersebut dinilai hanya memberikan ruang lingkup akses yang terlalu sempit serta birokrasi yang rumit, sehingga DJP menginginkan diberikan akses yang lebih luas serta waktu proses yang lebih singkat. Sistem tata hukum Indonesia yang mengatur relation antara rahasia bank dengan pajak antara lain tertuang dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, serta Peraturan Menteri Keuangan No.87/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti Dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan.
        Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 ayat 28 berbunyi, “Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah dan simpanannya”. Dan dalam Pasal 41 ayat 1 Rahasia Bank dikecualikan untuk Perpajakan, yang berbunyi, “Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.” Kemudian dalam Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tertuang dalam pasal 35 ayat (1) yang berbunyi, “Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta”. Serta ayat (2) yang berbunyi, ”Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan”.
Dari kedua penjelasan Undang-Undang tersebut, mari kita susun poin-poin apa saja yang sekiranya penting untuk diperhatikan.
1.    Kewajiban merahasiakan bank ditiadakan hanya untuk keperluan pemeriksaan pajak, pengaihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan.
2.    Kewajiban merahasiakan bank ditiadakan tersebut atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
3.    Permintaan tertulis dari Menteri Keuangan tersebut selanjutnya akan diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia.
4.    Kemudian Gubernur Bank Indonesia baru akan mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak, pengaihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan.
        Benang merah yang bisa ditarik dari klausal diatas adalah pertama ruang lingkup DJP untuk dapat melakukan akses rahasia bank hanya dapat dilewati oleh tiga pintu, yakni pemeriksaan, penagihan dan penyidikan dibidang perpajakan, yang artinya DJP baru bisa mengakses data perbankan hanya jika terjadi kasus dibidang perpajakan yang menyangkut WP tertentu. Padahal yang dibutuhkan DJP saat ini adalah akses bank yang sifatnya rutinitas. Alasan kuat yang membuat DJP sangat ingin sekali dapat mengakses data bank tanpa harus melalui by request adalah keakuratan data yang dimiliki oleh bank serta penggalian potensi penerimaan pajak yang besar. Jika DJP dapat menerobos rahasia bank tanpa batasan waktu, WP yang selama ini tidak jujur dalam pengisian SPT tidak akan bisa berkilah lagi, karena DJP dapat memantau setiap saat aliran dana yang masuk-keluar ke dan dari rekening nasabah. Dengan begitu akan terjadi check and ballance apakah pajak yang dibayar memang telah sesuai dengan arus masuk penghasilan ke rekening WP tersebut atau tidak. Disinyalir hingga saat ini banyak WP yang tidak jujur dalam pembayaran pajaknya, hal ini diperkuat dengan pernyataan Chandra Budi, Kepala Seksi Hubungan Eksternal DJP (2014),”Tidak semua wajib pajak itu melaporkan dan mungkin jujur dengan kondisi sebenarnya”. Terlebih masih banyak masyarakat yang terbilang mampu secara ekonomi, namun mereka enggan untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Dengan pemantauan rekening nasabah, maka DJP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan sebagaimana tertuang dalam UU KUP pasal 2 bagi Wajib Pajak yang dinilai mampu untuk melakukan kewajiban perpajakannya serta memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan problematika yang kedua yang tak kalah krusial adalah birokrasi perizinan yang berbelit dan memakan waktu yang lama karena harus melalui berbagai pihak hanya untuk mendapatkan izin menembus rahasia perbankan. Dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, dalam Pasal 6 ayat (2) a berbunyi, “Pembukaan sebagaiana dimaksud dalam ayat (1) harus ditandatangani dengan membubuhkan tandatangan basah oleh Menteri Keuangan untuk kepentingan perpajakan”. Bisa dibayangkan berapa rumitnya birokrasi yang harus dilalui serta berapa lama waktu yang terbuang hanya untuk mendapatkan perintah tertulis. Ketika akan dilakukan pemeriksaan pajak terhadap WP tertentu untuk dapat membuka rekening bank, tidak bisa serta merta langsung meminta tanda tangan Menteri Keuangan, semua harus melalui birokrasi terendah hingga tertingga (bottom up). Dimulai dengan mengajukan surat permohonan maksud dan tujuan untuk membuka rahasia bank ke Kepala Kantor Pajak Pratama, kemudian diteruskan ke Kepala Kanwil, lalu diteruskan ke Kantor Pusat DJP untuk diserahkan ke Dirjen Pajak, lalu baru disampaikan ke Menteri Keuangan dan disampaikan ke OJK selaku otoritas pemegang kekuasaan yang kini tidak lagi ditanganani BI. Muncul pertanyaan besar, bagaimana jika yang ingin mengajukan adalah Kantor Pajak yang terdapat di daerah, misalnya Papua? Tentu surat permohonan tersebut akan memakan waktu yang sangat lama untuk bisa sampai ke meja Menteri Keuangan.
        Meskipun semangat untuk membuka akses bank adalah demi kepentingan penerimaan negara, namun hal ini mendapat reaksi keras dari dunia perbankan. Banyak opini yang berkembang dari para bankir, mereka mengkhwatirkan jika DJP diberikan akses bank secara langsung dengan sistem yang belum memadai seperti saat ini, data nasabah akan bocor ke pihak luar sehingga trust nasabah ke bank akan mengalami depresiasi. Nasabah akan berfikir bahwa bank dalam negeri bukan lagi tempat yang aman untuk menyimpan uang mereka. Sehingga nasabah akan berbondong-bondong menarik cash mereka dari bank dalam negeri untuk kemudian menyimpannya di bank luar negeri. Yang sudah pasti efeknya adalah menggangu kestabilan perkonomian negara.


PENUTUP
Jika semangat dari dua institusi yakni DJP dan Perbankan adalah sama, yakni untuk membangun ekonomi Indonesia, tentu pertentangan adu kepentingan seharusnya tidaklah terjadi berlarut-larut. Yang dibutuhkan oleh kedua belah pihak adalah harmonisasi kebijakan antara satu dengan yang lainnya. Mencari win-win solution diantara resistence, misalnya saja DJP harus bisa meyakinkan para stakeholders bagaimana persiapan serta formula jika akses bank tersebut diberikan agar data nasabah tidak bocor ke pihak ketiga? Meskipun DJP ingin menggandeng OECD dalam melakukan sistem pengamanan, lantas apakah panduan yang diberikan OECD bisa diterapkan di Indonesia dengan melihat IT DJP yang terbatas, SDM DJP yang tidak memadai, serta melihat lingkungan intern perbankan Indonesia yang dinilai sangat liberal dan tentunya apakah benar DJP bisa menjamin data nasbah tidak akan bocor? Tentu semua butuh kajian mendalam serta ekstra kehati-hatian yang tinggi. Pun dengan Perbankan, jika DJP memang dinilai telah mapan untuk dapat menerapkan akses bank dengan berbagai syarat serta kajian mendalam, sebaiknya dunia Perbankan juga harus memberikan kepercayaan kepada DJP. Jangan lagi berdalih dengan alasan trust dari nasabah akan memudar, yang menyebabkan perbankan dalam negeri akan kehilangan orientasinya karena nasabah lebih memilih menyimpan uangnya diluar negeri. Karena sudah banyak pula negara lain yang mengizinkan Otoritas Pajak negaranya untuk dapat mengakses bank, misalnya saja Amerika yang terkenal dengan negara kapitalisnya, serta Swiss yang terkenal dengan tempatnya bank paling aman didunia telah memperbolehkan Otoritas Pajaknya untuk dapat mengakses rahasia bank. Lantas yang dibutuhkan semua pihak kini adalah duduk bersama demi kepentingan NKRI.

Semoga Bermanfaat.
Oleh: Muhammad Irfan Maulana


Daftar Pusatak

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank

Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009

Peraturan Menteri Keuangan No.87/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti Dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/komentar/2014/10/15/051800926/Ditjen.Pajak.Ngotot.Ingin.Bisa.Akses.Rekening.Nasabah.Bank diakses pada 3 Februari 2015

http://www.tempo.co/read/news/2014/03/03/087559094/OJK-Tolak-Buka-Data-Nasabah-Bank-untuk-Pajak diakses pada 3 Februari 2015

http://keuangan.kontan.co.id/news/pajak-gencar-mengincar-nasabah-bank diakses pada 3 Februari 2015

Majalah Pajak Volume II-2013

Wibisono, Agung dan Chamelia Gunawan. Pembukaan Rahasia Bank Untuk Kepentingan Pemeriksaan Perpajakan Menurut Perundang-Undangan Yang Berlaku Di Inonesia. 2011 

http://www.tempo.co/read/news/2014/03/12/090561483/Buka-Data-Nasabah-Bank-Pajak-Gandeng-OECD diakses pada 3 Februari 2015

1 komentar:

MENGENAL FAKTUR FIKTIF DAN PENANGANANNYA

00.38 Unknown 2 Comments



           Kasus pengemplangan pajak yang paling marak terjadi di Indonesia adalah penggunaan faktur pajak fiktif. Sebenarnya kasus ini bukanlah hal yang baru dalam dunia perpajakan nasional, namun karena terbilang masih susah untuk terdeteksi oleh petugas pajak, maka cara ini masih menjadi primadona dikalangan pengusaha untuk dapat menghindar dari pembayaran pajak. Faktur Pajak Fiktif sering disalah artikan. Maksud dari Faktur Pajak Fiktif adalah bukan karena fakturnya yang fiktif dari segi wujud, namun fiktif dari segi transaksi yang tertera dalam faktur tersebut.
           Menurut SE-132/PJ/2010 tentang Langkah-langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah, dalam pasal 1 berbunyi; yang dimaksud dengan Faktur Pajak Tidak Sah adalah Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan kata lain faktur pajak dikatakan fiktif apabila faktur pajak tersebut dikeluarkan oleh orang pribadi ataupun pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP. Selain itu, meski diterbitkan oleh PKP, namun jika transaksi yang tercantum dalam faktur pajak tersebut adalah bukan transaksi yang sebenarnya, maka faktur pajak tersebut juga dikatakan fiktif. Selain kedua klausal diatas, faktur fiktif juga dapat terjadi dalam hal perusahaan yang mengeluarkan faktur tersebut memang benar terdaftar sebagai PKP, namun perusahaannya fiktif.
           Modus yang digunakan adalah dengan mendirikan perusahaan serta kepengurusan perusahaan fiktif. Kemudian faktur pajak yang diterbitkan oleh perusahaan fiktif tersebut dijual ke berbagai perusahaan yang berniat menggunakan faktur tersebut sebagai pengurang jumlah pajaknya. Dengan kata lain, antara perusahaan fiktif dengan perusahaan rekanan yang membeli faktur tersebut hakikatnya sama sekali tidak terjadi transaksi apapun baik penyerahan BKP ataupun JKP namun pendiriannya ditujukan semata-mata hanya untuk menerbitkan faktur. Menurut Plt. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Wahju Tumakaka modus penerbit faktur pajak fiktif ini adalah menerbitkan faktur pajak tanpa didasari dengan transaksi yang sebenarnya, dengan kata lain hanya berdasarkan pesanan wajib pajak pengguna/pembeli. Pembeli dapat memperoleh faktur fiktif tersebut hanya dengan membeli sebesar 14%-30% dari nilai Daftar Pengenaan Pajak PPN (DPP PPN) yang tertera dalam faktur tersebut. Faktur pajak fiktif biasanya digunakan untuk mengurangi jumlah PPN terutang.
           Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PPN dikenakan dalam setiap proses produksi Barang Kena Pajak (BKP) ataupun Jasa Kena Pajak (JKP) mulai dari pembelian bahan baku, hingga penjualan barang jadi. Mekanisme pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Penjual yang akan menjual barang dagangannya selanjutnya menerbitkan faktur pajak yang disebut sebagai Pajak Keluaran (PK) dan akan dikreditkan oleh pembeli sebagai Pajak Masukan (PM). Dengan mekanisme ini, pajak yang akan diterima oleh negara adalah sebesar PK dikurangi PM. Dan disinilah biasanya PKP bermain, dengan cara mengecilkan jumlah PK atau membesarkan jumlah PM sehingga pajak terutang menjadi lebih kecil dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
           Kerumitan dalam menangani kasus seperti ini adalah selain melibatkan banyak pihak juga didukung perusahaan fiktif yang terlampau banyak jumlahnya sehingga sangat sulit untuk terdeteksi. Menurut Fuad dari awal Januari sampai dengan pertengahan Agustus 2012 saja Pemerintah telah mencabut izin 196.000 perusahaan sebagai Pengusaha Kena Pajak  dari target 300.000 perusahaan fiktif, dan angka ini akan bertambah setiap tahunnya. Perusahaan-perusahaan fiktif tersebut menyalahgunakan status PKP untuk dapat mengeluarkan faktur pajak. Begitu banyaknya perusahaan fiktif tersebut dikarenakan mudahnya prosedur untuk mendapatkan status perusahaan menjadi pengusaha kena pajak.
           Melihat hilangnya potensi penerimaan negara setiap tahun yang mencapai triliunan akibat faktur fiktif, pemerintah dalam hal ini diwakili DJP tidak hanya berdiam diri. Berbagai cara terus dilakukan guna melakukan pembenahan dalam upaya peningkatan pelayanan dan pengelolaan administrasi PPN. Upaya yang dilakukan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pada tahun 2012 DJP telah melakukan registrasi ulang bagi Pengusaha yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak. Menurut PER-20/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 tentang Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012, Program registrasi ulang ini dimulai dari bulan Februari 2012 sampai dengan 31 Desember 2012. Dalam program registrasi ulang ini, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia akan meneliti kembali mulai dari kebenaran kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha hingga mengecek keberadaan dan kesesuaian alamat pengusaha yang bersangkutan. Apabila dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pengusaha yang bersangkutan  telah tutup atau sudah tidak melakukan usaha lagi, maka status pengukuhannya sebagai PKP akan dicabut. Dengan dicabutnya status pegukuhan PKP bagi pengusaha yang bersangkutan, maka Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas penjualan barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut tidak lagi dapat dikreditkan oleh pihak pembeli.

2. Pada tanggal 1 Juni 2013, DJP mulai menerapkan aplikasi Elektronik Penomoran Faktur Pajak atau E-Nofa pada Kantor Pelayanan Pajak atas implementasi dari PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak. E-Nofa adalah sistem atau aplikasi baru penomoran faktur pajak. Penerapan E-Nofa ini didasari dari maraknya penyalahgunaan faktur yang tata cara penomorannya dilakukan sendiri oleh PKP. Sehingga PKP bebas untuk menerbitkan berapapun faktur yang diinginkan. Kini dengan adanya E-Nofa, PKP tidak lagi leluasa untuk menomori fakturnya sendiri, melainkan tata cara penomoran faktur akan dijatah oleh DJP. Tidak semua PKP bisa mendapatkan E-Nofa, hanya pengusaha yang selama ini tertib membayar pajak serta diyakini keberadaanya saja yang akan mendapat jatah nomor faktur pajak ini.

3. Pada bulan April Tahun 2014 DJP mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dalam pasal 1 ayat (1) batasan omzet pengusaha kecil yang wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak(PKP) atau wajib memungut dan menyetor PPN dinaikan menjadi Rp4,8 miliar setahun dari sebelumnya Rp600 juta setahun. Hal ini setidaknya dapat meminimalisir untuk membatasi jumlah faktur fiktif yang beredar. Dengan naiknya batasan omzet ini, maka bagi PKP dengan omzet dibawah 4,8 miliar dan memilih untuk menjadi non PKP, tidak diwajibkan lagi untuk membuat Faktur Pajak.

4. Pada bulan September 2014 DJP telah membentuk Satgas Penanganan Faktur Pajak Yang Tidak Berdasarkan Nilai Transaksi Yang Sebenarnya. Ada tiga pertimbangan mengapa satgas ini dibentuk. Pertama penanganan faktur pajak selama ini belum menyentuh para pengguna faktur pajak bermasalah. Selama ini DJP lebih terfokus kepada para penerbit faktur pajak fiktif tersebut karena lebih mudah untuk mendeteksinya. Namun penanganan kepada penerbit selama ini ternyata tidak menghilangkan minat pasar untuk meminta atau membeli faktur bermasalah, oleh sebab itu kini DJP juga akan membidik para pengguna faktur pajak fiktif tersebut. Kedua ternyata modus-modus yang digunakan untuk mengedarkan atau menerbitkan faktur fiktif tersebut masih terus marak terjadi bahkan berkembang lebih canggih sekalipun DJP sudah melakukan perbaikan dari sisi administrasi, yakni menggunakan pendaftaran dan pendataan faktur pajak dengan skema pembatasan, ternyata masih mereka gunakan juga celah atau lubang faktur pajak ini agar bisa digunakan. Dan ketiga adalah untuk efisiensi waktu dalam hal penanganan kasus faktur fiktif,karena jika dengan pendekatan bukti permulaan (buper) dan penyidikan akan memakan waktu yang lama hingga bertahun-tahun terlebih harus pula ke sidang yang tidak dapat dipastikan kapan inkrahnya.

5.  Pada tanggal 10 Februari DJP melakukan soft launching aplikasi e-Faktur. E-Faktur adalah suatu sistem yang selama ini diidam-idamkan oleh DJP untuk dapat menangkal faktur pajak fiktif. Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, maka ditetapkan KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik. Dalam KEP-136/PJ/2014 tertuang e-Faktur terlebih dahulu akan diberlakukan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya di Jakarta mulai 1 Juli 2014. Kemudian setahun kemudian, tapatnya tanggal 1 Juli 2015, e-Faktur akan diberlakukan untuk seluruh KPP di Kantor Pelayanan Pajak Pulau Jawa dan Bali.  Dan pada pada tanggal 1 Juli 2016 serentak e-Faktur akan diberlakukan secara nasional. Jika selama ini Faktur Pajak baik penerbitan ataupun pelaporan dilakukan secara manual dan tidak terhubung dengan sistem DJP, misalnya untuk penjualan hari ini namun baru dilaporkan bulan juli, namun dengan e-Faktur hal tersebut tidak lagi dapat dilakukan. Faktur Pajak yang dikeluarkan PKP akan langsung terhubung ke database Ditjen Pajak. Misalnya saja laporan barang yang dijual hari ini akan langsung masuk ke sistem dan dapat direspon untuk memberikan faktur pajak. Dan hingga tahun 2016 jika masih ada PKP yang tidak menggunakan sistem ini dapat dicabut izinnya, serta apabila masih ada faktur manual yang beredar akan dianggap tidak sah.

PENUTUP

Meskipun berbagai cara telah digunakan DJP guna menghilangkan praktik faktur fiktif, penulis berkayakinan bahwa praktik faktur fiktif akan terus ada di negeri ini, karena hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di seluruh dunia. Disaat cara baru atau sistem terbaru dikeluarkan oleh DJP, pada saat itu pula lah para pengusaha nakal akan mencari cara untuk dapat menembus celah sistem baru tersebut. Namun dengan komit yang kuat untuk mentransformasi DJP kedalam sistem yang modern, semoga langkah-langkah yang ditempuh DJP setidaknya dapat meminimalisir terjadinya praktik faktur fiktif.

Semoga Bermanfaat. Terima Kasih
Oleh: Muhammad Irfan Mualana

Daftar Pustaka:


SE-132/PJ/2010 tentang Langkah-langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah PPN

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/Pmk.011/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak

PER-20/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 tentang Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012

PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak

PER-16/Pj/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik
PER-20/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 tentang Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012

Antisipasi Faktur Fiktif, Ditjen Pajak Terapkan Sistem Online http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/503203-antisipasi-faktur-fiktif--ditjen-pajak-terapkan-sistem-online diakses pada 25 Januari 2015

Cegah Faktur Pajak Fiktif, Penomorannya Diatur Ulang http://news.detik.com/read/2013/05/06/010007/2236840/727/cegah-faktur-pajak-fiktif-penomorannya-diatur-ulang?nd771104bcj diakses pada 25 Januari 2015

Ditjen Pajak Bentuk Satgas Untuk Kejar Pemain Faktur Pajak Fiktif http://www.pajak.go.id/content/ditjen-pajak-bentuk-satgas-untuk-kejar-pemain-faktur-pajak-fiktif diakses pada 25 Januari 2015

Ditjen Pajak Fokus Tangani Pelaku Bisnis Faktur Pajak Fiktif http://www.pajak.go.id/content/ditjen-pajak-fokus-tangani-pelaku-bisnis-faktur-pajak-fiktif diakses pada 25 Januari 2015

E-Nofa, sistem baru Ditjen Pajak cegah faktur pajak fiktif http://www.pajak.go.id/content/e-nofa-sistem-baru-ditjen-pajak-cegah-faktur-pajak-fiktif diakses pada 25 Januari 2015

Kasus Faktur Pajak Fiktif: 40 Perusahaan Gunakan Jasa Tersangka http://kabar24.bisnis.com/read/20140502/16/224136/kasus-faktur-pajak-fiktif-40-perusahaan-gunakan-jasa-tersangka diakses pada 25 Januari 2015

Faktur Pajak Dipalsukan Negara Tekor Triliunan http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=27912 diakses pada 25 Januari 2015

Ditjen Pajak Luncurkan e-Faktur Pajak http://www.pajak.go.id/content/news/ditjen-pajak-luncurkan-e-faktur-pajak diakses pada 26 Januari 2015

Soft Launching dan Pembukaan Piloting Aplikasi e-Faktur Pajak http://www.pajak.go.id/content/flash-foto/soft-launching-dan-pembukaan-piloting-aplikasi-e-faktur-pajak diakses pada 26 Januari 2015

Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak http://www.pajak.go.id/content/registrasi-ulang-pengusaha-kena-pajak diakses pada 26 Januari 2015

2 komentar: