MENGHINDARI MIDDLE INCOME TRAP DALAM PERSPEKTIF PEMERATAAN PEMBANGUNAN
Banyak prestasi ekonomi yang telah dicapai Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ditengah perlambatan ekonomi dunia, antara lain terjadi penurunan presentase angka pengangguran dari 11,9% pada tahun 2005 menjadi 7,39% pada tahun 2013 (BPS, 2013), tingkat pertumbuhan ekonomi yang selalu konstan di angka 6% dari tahun 2007 hingga tahun 2012 (Hatta Rajasa, 2012), GDP dan GNP per kapita yang hampir mengalami kenaikan hingga 6 kali lipat, dengan GDP per kapita tahun 2000 yang hanya sebesar U$D 677.5 menjadi U$D 3,650.8 pada tahun 2013 serta GNP perkapita tahun 2000 yang hanya sebesar U$D 632.5 menjadi U$D 3,537.8 pada tahun 2013 (BPS, 2013; *asumsi 1 U$D = Rp 10.000,-), rasio utang yang masih dalam level yang sehat pada akhir tahun 2014 yakni sebesar 23% dari GDP dan kini Indonesiapun telah tergabung dalam anggota G-20 dengan menjadi negara ke-16 dengan ekonomi terbesar didunia. Pencapaian tersebut mendapat banyak apresiasi serta pujian dari dunia internasional, bahkan membuat banyak lembaga-lembaga internasional merilis dan memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi moda penggerak ekonomi terbesar di Asia bersama China, India dan Jepang.
Dalam laporannya, lembaga-lembaga rating internasional pada tahun 2013 memberikan respon yang positif terhadap perkembangan ekonomi Indonesia, seperti Fitch Ratings yang memberikan peringkat terhadap perekonomian Indonesia menjadi BBB-/stable outlook, Japan Credit Rating Agebcy Ltd. memberikan peringkat BBB-with stable outlook, S&P dan Moody’s yang masing-masing memberikan penilaian BB+level for long-term dan Baa3 with stable outlook (investment grade), yang artinya Indonesia dinobatkan menjadi salah satu negara yang layak diperhitungkan untuk tujuan investasi jangka panjang oleh kalangan investor. World Bank yang menaikan predikat Indonesia dari negara low income country menjadi lower middle-income country atas pencapaian kenaikan GNP, bahkan tak tanggung-tanggung dalam laporan perusahaan konsultan manajemen global, Mc Kinsey & Co mempublikasikan bahwa Indonesia berpotensi menjadi negara dengan perekonomian terkuat nomor 7 di dunia pada tahun 2030.
Semua apresiasi yang dirilis oleh lembaga-lembaga Internasional tersebut tentu semua atas dasar yang kuat. Melihat pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang sangat impresif serta mempunyai potensi dengan didukung sumber daya alam yang kaya serta jumlah penduduk yang mencapai 250juta, kesemua hal itu memberikan legimitasi yang kuat, bahwa Indonesia pantas menjadi negara besar. Namun semua apresiasi dan prediksi tersebut hanyalah sebuah angan-angan jika Indonesia tidak bisa memanfaatkan momentum untuk dapat menggenjot ekonominya secara suistainable. Tantangan terbesar Indonesia kini adalah bagaimana mengelola penduduk yang besar jumlahnya. Beruntungnya, jumlah penduduk Indonesia kini di dominasi oleh penduduk berusia produktif yang berumur antara 15 hingga 64 tahun dan hal ini akan berlanjut hingga tahun 2030, itu artinya Indonesia kini tengah mendapatkan apa yang disebut dengan bonus demografi atau demografic dividend.
Bonus demografi yang dimiliki Indonesia saat ini adalah sebuah tantangan sekaligus peluang, semua tergantung arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dengan jumlah tenaga kerja yang diperkirakan akan terjadi peningkatan sebesar 14,8juta pada tahun 2020 menjadi 189juta, jika bisa dimanfaatkan dengan maksimal bisa dibayangkan berapa arus perputaran uang yang terjadi setiap harinya dengan jumlah tenga kerja sebanyak itu, bukan tidak mungkin prediksi Indonesia akan menjadi negara maju akan benar terjadi. Namun, perlu digaris bawahi, permasalahan Indonesia yang ada sekarang adalah jumlah tenaga kerja Indonesia yang kurang terampil karena masih didominasi oleh lulusan SD terlebih jumlah lapangan kerja yang terbatas dengan jumlah angkatan kerja selalu bertambah setiap tahunnya sebesar 2,5juta orang, membuat teknokrat Indonesia harus mulai mencari terobosan-terobosan baru dalam arah kebijakan pembangunannya. Dengan permasalahan tersebut, bonus demografi justru bisa menjadi bencana bagi Indonesia jika tidak bisa mengelolanya, layaknya bom waktu yang tinggal menunggu kapan bom tersebut akan meledak.
Selain problematika dalam mengelola jumlah penduduk yang besar, Indonesia juga dihadapkan pada permasalahan jumlah penghasilan berdasarkan PNB per kapita yang masih bercokol dalam kategori lower middle income. World bank membagi negara berdasarkan kategori income sebagai berikut (lihat tabel 1.1) :
Kategori
|
PNB per kapita 2013
|
Low Income
|
< US$ 1.045
|
Lower Middle
Income
|
US$ 1.045 – US$ 4.125
|
Upper
Middle Income
|
US$ 4.125 – US$ 12.746
|
High Income
|
> US$ 12.746
|
Tabel 1.1
Banyak cara untuk bisa keluar dari MIT tersebut, antara lain; (1) perbaikan kualitas SDM melalui pendidikan, (2) mengubah pola ekspor dari ekspor basis sumber daya menuju ekspor barang & jasa yang mempunyai nilai tambah (value added), (3) pembangunan infastuktur yang inklusif serta pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Salah satu pembangunan infrastruktur yang inklusif serta sustainable adalah pemerataan pembangunan diberbagai daerah. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah telah mengantisipasi dalam suatu pembangunan yang ter-design dalam suatu road map nasional yang disebut dengan Master-Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Mei 2011. MP3EI merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan masuk dalam jajaran sepuluh negara dengan kekuatan ekonomi terbesar pada tahun 2025. Strategi utama pelaksanaan MP3EI adalah dengan mengembangkan 6 koridor ekonomi Indonesia yang dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan disetiap koridor dengan mengembangkan klaster industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang berbasis sumber daya unggulan disetiap koridor ekonomi (lihat tabel 1.2)
Pulau
|
Pengembangan Koridor
|
Koridor Sumatera
|
Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan
Lumbung Energi Nasional
|
Koridor Kalimantan
|
Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang &
Lumbung Energi Nasional
|
Koridor Jawa
|
Pendorong Industri dan Jasa Nasional
|
Koridor Bali – Nus Tenggara
|
Pintu Gerbang Pariwisata Nasional dan Pendukung
Pangan Nasional
|
Koridor Sulawesi
|
Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian,
Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional
|
Koridor Papua – Kep. Maluku
|
Pengembangan Energi, Pangan, Pperikanan, dan
Tambang Nasional
|
MP3EI adalah suatu master yang digunakan guna mendukung arah kebijakan pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan adanya road map tersebut, diharapkan arah kebijakan lima tahunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) akan mencapai pokok-pokok sasaran yang telah ditentukan. Adapun arah dan tujuan RPJM telah dibagi oleh pemerintah dalam 4 tahap, sebagai berikut:
RPJM ke-1 (2005-2009) diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia disegala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat.
RPJM ke-2 (2010-2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian.
RPJM ke-3 (2015-2019) ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh diberbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan iptek yang terus meningkat.
RPJM ke-4 (2020-2025) ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kukuh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing.
Contoh nyata dari adanya MP3EI adalah kini pembangunan tidak hanya terpusat di pulau jawa, tapi telah tersebar ke berbagai daerah yang menjadi prioritas pembangunan, antara lain:
Koridor Sumatera: Pembangunan Jalur Ganda KA Double Track Medan-Bandara Internasional Kuala Namu senilai Rp878 miliar, pembangunan Jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi senilai Rp5,25 triliun, pembangunan PLTP Sarulla 1 330MW senilai Rp17,56 triliun, pembangunan Pabrik Oleochemical senilai Rp2,04 triliun, pengembangan Pelabuhan Container Batu Ampar Batam, revitalisasi pabrik pupuk PUSRI 2B senilai Rp6,24 triliun, pembangunan jaringan transmisi Jawa-Sumatera HVDC senilai Rp25,1 triliun, pembangunan PLTU Sumatera Selatan 8 2x620 MW senilai Rp14,04 triliun, pembangunan PLTU Banjarsari 2x110 MW senilai Rp2,88 triliun, pengembangan pariwisata tanjung lesung senilai Rp73,8 triliun, dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-api senilai Rp12,3 triliun.
Koridor Jawa: Pembangunan Terminal Multipurpose Teluk Lamong tahap 1 senilai Rp4,1 triliun, pembangunan Jalur ganda KA lintas utara Jawa Cirebon-Surabaya senilai Rp16,4 triliun, pengembangan Terminal Bandara Internasional Juanda senilai Rp1,05 triliun, pengembangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta senilai Rp26,2 triliun, pembangunan Bandara Internasional Kertajati senilai Rp8,2 triliun, pembangunan Jalan tol Cikampek-Palimanan senilai Rp1,25 triliun, pembangunan Jalur ganda KA dan elektrifikasi Serpong-Maja-Rangkasbitung senilai Rp1,5 triliun, pengembangan Pelabuhan tanjung emas, Semarang senilai Rp545 miliar, pengembangan PLTU Adipala 660 MW senilai Rp6,9 triliun, pembangunan Jalan tol Surabaya-Mojokerto senilai Rp3,1 triliun, pembangunan Jalan tol Mojokerto-Kertosono senilai Rp3,4 triliun, pembangunan Jalan tol Gempol-Pandaan senilai Rp1,1 triliun, pengembangan pelabuhan Branta senilai Rp158 miliar, pembangunan pabrik kendaraan bermotor R-4 senilai Rp11,8 triliun, pembangunan Pabrik Semen Merah Putih senilai Rp6,8 triliun, pembangunan Smelter 1.200 MT senilai Rp1,29 triliun, pembangunan Smelter 300 ribu ton senilai Rp3,6 triliun, dan pembangunan Smelter 243.600 ton senilai Rp4,02 triliun, pembangunan Smelter 100.000 MT senilai Rp1,9 triliun.
Koridor Kalimantan: Pengembangan Terminal Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan senilai Rp2,1 triliun, pengembangan tiga bandara di wilayah perbatasan senilai Rp390 miliar, pembangunan PLTG Kaltim Peaking 2x60 MW senilai Rp960 miliar, proyek PT Total Indonesia, Anjungan SISI-NUBI 2B di lepas pantai senilai Rp8,1 triliun, proyek Pengembangan Lapangan fasilitas lepas pantai dan gelar pipa lapangan ruby senilai Rp5,5 triliun, pembangunan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) senilai Rp34 miliar, pembangunan Institut Teknolohi Kalimantan (ITK) senilai Rp99 miliar, pembangunan PLTU Embalut, Unit 3 (50 MW) senilai Rp759 miliar, pembangunan PLTGU Senipah 2x41 MW senilai Rp2,1 triliun, pembangunan pabrik Smelter Grade Alumina senilai Rp25,3 triliun, dan pembangunan Chemical Grade Alumina Refinery (CGA) senilai Rp5,3 triliun.
Koridor Sulawesi: Pengembangan PLTA Poso II 3x65 MW senilai Rp3,8 triliun, pengembangan fasilitas pelabuhan pantoloan senilai Rp2,7 triliun, pengembangan Bandaran Mutiara Sis-Al Jufrie Palu senilai Rp836 miliar, pengembangan Jalur Kereta Api Lintas Makasar-Parepare senilai Rp6,4 triliun, Kawasan Ekonomi Khusus Palu senilai Rp1,7 triliun, Kawasan Ekonomi Khusus Bitung senilai Rp2,3 triliun, pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung senilai Rp4,3 triliun, pembangunan PLTU Takalar/Punagaya 2x100 MW senilai Rp2,8 triliun, pembangunan Kilang LNG Donggi-Senoro senilai Rp28 triliun, pembangunan PLTA Karama 450 MW senilai Rp9 triliun.
Koridor Bali-Nusa Tenggara: Pengembangan 3 Pelabuhan di Nusa Tenggara Barat senilai Rp231 miliar, pembangunan Kawasan Pariwisata Teluk Mekaki senilai Rp3 triliun, pembangunan Kawasan Pariwisata Tanjung Ringgit senilai Rp5 triliun, pembangunan BIP (Bali Internasional Park) senilai Rp4 triliun, pengembangan Resort pariwisata bukit doa senilai Rp100 miliar, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika senilai Rp30 triliun, pembangunan bendungan titab senilai Rp428 miliar, dan pembangunan Dam Raknamo senilai Rp1 triliun.
Koridor Maluku-Papua: Pengembangan Bandara di Tual, Maluku senilai Rp123 miliar, pembangunan Pelabuhan khusus tanjung buli senilai Rp226 miliar., pembangunan kawasan Industri Maritim Indonesia senilai Rp1,3 triliun, pengembangan Bandara Sentani, Papua senilai Rp1,1 triliun, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Morotai senilai Rp6,8 triliun, pembangunan Jaringan Backbone serat optik senilai Rp2,5 triliun, dan pembangunan Jalan trans papua (jalan P4B) senilai Rp11,3 triliun.
Serta masih banyak proyek-proyek MP3EI yang akan terus dikerjakan hingga tahun 2025 baik itu proyek prospektif maupun proyek potential yang ditaksir nilainya mencapai lebih dari Rp 3000 triliun.
PENUTUP:
Respon yang reaktif dari pemerintah Indonesia atas sinyal negatif yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional atas middle income trap patut diacungi jempol. Pemerintah harus banyak belajar dari Korea Selatan yang bisa keluar dari MIT. Indonesia dan Korea Selatan adalah dua negara dikawasan asia yang terkena dampak dari krisis ekonomi yang melanda Thailand pada tahun 1997. Namun semua tantangan itu kini dijawab Korea Selatan dengan take off jauh mendahului perekonomian Indonesia dengan menjadi salah satu negara basis industri manufaktur terbesar didunia dengan GDP sebesar US$ 1,304,554 millions. Menurut penulis, meskipun proyek MP3EI telah dilaksanakan guna menunjang pemerataan, namun sangat disayangkan karena faktor penggerak ekonomi Indonesia kini lebih banyak ditopang oleh konsumsi domestik yang selalu berada diatas 50% dari PDB jauh mengungguli sektor investasi. Bahayanya adalah, jika sektor konsumsi selalu menjadi motor penggerak tanpa diimbangi oleh investasi, maka Indonesia akan lebih banyak melakukan impor. Indonesia harus banyak belajar dari China, bagaiamana RRT mengelola basis penggerak ekonominya dari konsumsi menuju investasi, yang kini investasi berkontribusi hingga lebih dari 50% terhadap PDB nya. Kini bisa dilihat China adalah basis produksi manufaktur terbesar didunia, semua barang mulai dari alat tulis, alat rumah tangga, pakaian, makanan dan minuman, kosmetik, elektronik, handphone hingga kendaraan telah berlabelkan ‘made in china’. Penulis berharap pemerintah Jokowi memberi harapan besar atas pembangunan yang inklusif, dengan tahap awal pencabutan subsidi bbm yang dialihkan ke hal-hal yang lebih bersifat produktif terutama dalam hal pemerataan pembangunan guna menciptakan titik-titik ekonomi baru diberbagai daerah yang selama ini belum tergali secara maksimal. Semoga dengan mengubah pola masyarakat Indonesia yang konsumtif menjadi pola produktif dapat menjawab prediksi berbagai lembaga internasional bahwa Indonesia bisa keluar dari MIT dan menjadi "High Income Country”.
Semoga Bermanfaat!
Oleh: Muhammad Irfan Maulana
Daftar Pustaka
Malale, Aprisal dan
Agus Maung Sutikno. 2014. Jurnal BPPK Volume 7 Nomor 2 2014: Analisis
Middle-Income Trap di Indonesia. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan Kementerian Republik Indonesia.
Mustopadidjaja, dkk.
2012. BAPPENAS: Dalam Sejarah Prencanaa Pembangunan Indonesia 1945-2025.
Jakarta: LP3ES.
http://www.tempo.co/read/news/2014/04/02/198567206/Indonesia-Negara-Tujuan-Investasi-Jangka-Panjang
diakses pada 20 Februari 2015
http://hatta-rajasa.info/read/1368/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-2001-2012
diakses pada 20 Februari 2015
http://bisnis.liputan6.com/read/819771/indonesia-tak-mau-bernasib-seperti-afrika-selatan
diakses pada 22 Februari 2015
http://bisnis.liputan6.com/read/2072706/ri-perlu-seimbangkan-konsumsi-domestik-dan-investasi
diakses pada 22 Februari 2015
http://economy.okezone.com/read/2014/09/05/20/1034679/daftar-proyek-mp3ei-yang-diresmikan-hari-ini
diakses pada 22 Februari 2015
http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/08/05/sektor-konsumsi-masih-menjadi-penggerak-pertumbuhan-ekonomi
diakses pada 22 Februari 201
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_GDP_%28nominal%29
diakses pada 22 Februari 2015
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=5
diakses pada 22 Februari 2015
2 komentar: