RESISTENSI KEPENTINGAN, DJP VS PERBANKAN
Melihat tren tax ratio Indonesia dalam satu dekade terakhir yang tak kunjung berubah di level 12%, mengindikasikan masih lemahnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia, salah satunya adalah database perpajakan yang buruk.
Sudah 13 tahun reformasi birokrasi mengiringi perjalanan DJP menjadi institusi yang modern, namun hingga saat ini DJP masih saja tidak mempunyai data yang kongkrit untuk mengukur kuantitas seberapa besar Wajib Pajak harus membayar pajaknya secara real. Terlebih dengan diterapkannya sistem self assessment yang rentan menimbulkan tax avoidance, dengan mempunyai high quality database setidaknya dapat digunakan sebagai alat preventive control bagi Wajib Pajak yang ingin melakukan pengemplangan pajak. DJP sebagai institusi perpajakan di Indonesia, sudah sepatutnya mempunyai basis data wajib pajak yang kuat, database yang terintegrasi ke seluruh lembaga/instansi pemerintahan secara by system, misalnya data yang terintegrasi dengan KTP melalui Pemerintah Daerah serta data yang terintegrasi dengan simpanan nasabah melalui dunia Perbankan. Dengan terintegrasinya basis data pajak dengan berbagai lembaga/institusi pemerintah terkait, diharapkan akan membuka peluang potensi baru serta pengawasan yang semakin runcing, yang impact-nya adalah peningkatan penerimaan negara yang bersumber dari pendapatan pajak. Sayangnya, harapan DJP untuk mempunyai high quality database rasanya sangat sulit tercapai, terutama dalam hal membuka rahasia bank.
Sebenarnya untuk dapat membuka akses perbankan bukanlah sesuatu yang haram bagi DJP, karena sudah ada aturan hukum Perundang-undangan yang mengatur, namun aturan tersebut dinilai hanya memberikan ruang lingkup akses yang terlalu sempit serta birokrasi yang rumit, sehingga DJP menginginkan diberikan akses yang lebih luas serta waktu proses yang lebih singkat. Sistem tata hukum Indonesia yang mengatur relation antara rahasia bank dengan pajak antara lain tertuang dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, serta Peraturan Menteri Keuangan No.87/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti Dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan.
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 ayat 28 berbunyi, “Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah dan simpanannya”. Dan dalam Pasal 41 ayat 1 Rahasia Bank dikecualikan untuk Perpajakan, yang berbunyi, “Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.” Kemudian dalam Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tertuang dalam pasal 35 ayat (1) yang berbunyi, “Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta”. Serta ayat (2) yang berbunyi, ”Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan”.
Dari kedua penjelasan Undang-Undang tersebut, mari kita susun poin-poin apa saja yang sekiranya penting untuk diperhatikan.
1. Kewajiban merahasiakan bank ditiadakan hanya untuk keperluan pemeriksaan pajak, pengaihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan.
2. Kewajiban merahasiakan bank ditiadakan tersebut atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
3. Permintaan tertulis dari Menteri Keuangan tersebut selanjutnya akan diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia.
4. Kemudian Gubernur Bank Indonesia baru akan mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak, pengaihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan.
Benang merah yang bisa ditarik dari klausal diatas adalah pertama ruang lingkup DJP untuk dapat melakukan akses rahasia bank hanya dapat dilewati oleh tiga pintu, yakni pemeriksaan, penagihan dan penyidikan dibidang perpajakan, yang artinya DJP baru bisa mengakses data perbankan hanya jika terjadi kasus dibidang perpajakan yang menyangkut WP tertentu. Padahal yang dibutuhkan DJP saat ini adalah akses bank yang sifatnya rutinitas. Alasan kuat yang membuat DJP sangat ingin sekali dapat mengakses data bank tanpa harus melalui by request adalah keakuratan data yang dimiliki oleh bank serta penggalian potensi penerimaan pajak yang besar. Jika DJP dapat menerobos rahasia bank tanpa batasan waktu, WP yang selama ini tidak jujur dalam pengisian SPT tidak akan bisa berkilah lagi, karena DJP dapat memantau setiap saat aliran dana yang masuk-keluar ke dan dari rekening nasabah. Dengan begitu akan terjadi check and ballance apakah pajak yang dibayar memang telah sesuai dengan arus masuk penghasilan ke rekening WP tersebut atau tidak. Disinyalir hingga saat ini banyak WP yang tidak jujur dalam pembayaran pajaknya, hal ini diperkuat dengan pernyataan Chandra Budi, Kepala Seksi Hubungan Eksternal DJP (2014),”Tidak semua wajib pajak itu melaporkan dan mungkin jujur dengan kondisi sebenarnya”. Terlebih masih banyak masyarakat yang terbilang mampu secara ekonomi, namun mereka enggan untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Dengan pemantauan rekening nasabah, maka DJP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan sebagaimana tertuang dalam UU KUP pasal 2 bagi Wajib Pajak yang dinilai mampu untuk melakukan kewajiban perpajakannya serta memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan problematika yang kedua yang tak kalah krusial adalah birokrasi perizinan yang berbelit dan memakan waktu yang lama karena harus melalui berbagai pihak hanya untuk mendapatkan izin menembus rahasia perbankan. Dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, dalam Pasal 6 ayat (2) a berbunyi, “Pembukaan sebagaiana dimaksud dalam ayat (1) harus ditandatangani dengan membubuhkan tandatangan basah oleh Menteri Keuangan untuk kepentingan perpajakan”. Bisa dibayangkan berapa rumitnya birokrasi yang harus dilalui serta berapa lama waktu yang terbuang hanya untuk mendapatkan perintah tertulis. Ketika akan dilakukan pemeriksaan pajak terhadap WP tertentu untuk dapat membuka rekening bank, tidak bisa serta merta langsung meminta tanda tangan Menteri Keuangan, semua harus melalui birokrasi terendah hingga tertingga (bottom up). Dimulai dengan mengajukan surat permohonan maksud dan tujuan untuk membuka rahasia bank ke Kepala Kantor Pajak Pratama, kemudian diteruskan ke Kepala Kanwil, lalu diteruskan ke Kantor Pusat DJP untuk diserahkan ke Dirjen Pajak, lalu baru disampaikan ke Menteri Keuangan dan disampaikan ke OJK selaku otoritas pemegang kekuasaan yang kini tidak lagi ditanganani BI. Muncul pertanyaan besar, bagaimana jika yang ingin mengajukan adalah Kantor Pajak yang terdapat di daerah, misalnya Papua? Tentu surat permohonan tersebut akan memakan waktu yang sangat lama untuk bisa sampai ke meja Menteri Keuangan.
Meskipun semangat untuk membuka akses bank adalah demi kepentingan penerimaan negara, namun hal ini mendapat reaksi keras dari dunia perbankan. Banyak opini yang berkembang dari para bankir, mereka mengkhwatirkan jika DJP diberikan akses bank secara langsung dengan sistem yang belum memadai seperti saat ini, data nasabah akan bocor ke pihak luar sehingga trust nasabah ke bank akan mengalami depresiasi. Nasabah akan berfikir bahwa bank dalam negeri bukan lagi tempat yang aman untuk menyimpan uang mereka. Sehingga nasabah akan berbondong-bondong menarik cash mereka dari bank dalam negeri untuk kemudian menyimpannya di bank luar negeri. Yang sudah pasti efeknya adalah menggangu kestabilan perkonomian negara.
Sudah 13 tahun reformasi birokrasi mengiringi perjalanan DJP menjadi institusi yang modern, namun hingga saat ini DJP masih saja tidak mempunyai data yang kongkrit untuk mengukur kuantitas seberapa besar Wajib Pajak harus membayar pajaknya secara real. Terlebih dengan diterapkannya sistem self assessment yang rentan menimbulkan tax avoidance, dengan mempunyai high quality database setidaknya dapat digunakan sebagai alat preventive control bagi Wajib Pajak yang ingin melakukan pengemplangan pajak. DJP sebagai institusi perpajakan di Indonesia, sudah sepatutnya mempunyai basis data wajib pajak yang kuat, database yang terintegrasi ke seluruh lembaga/instansi pemerintahan secara by system, misalnya data yang terintegrasi dengan KTP melalui Pemerintah Daerah serta data yang terintegrasi dengan simpanan nasabah melalui dunia Perbankan. Dengan terintegrasinya basis data pajak dengan berbagai lembaga/institusi pemerintah terkait, diharapkan akan membuka peluang potensi baru serta pengawasan yang semakin runcing, yang impact-nya adalah peningkatan penerimaan negara yang bersumber dari pendapatan pajak. Sayangnya, harapan DJP untuk mempunyai high quality database rasanya sangat sulit tercapai, terutama dalam hal membuka rahasia bank.
Sebenarnya untuk dapat membuka akses perbankan bukanlah sesuatu yang haram bagi DJP, karena sudah ada aturan hukum Perundang-undangan yang mengatur, namun aturan tersebut dinilai hanya memberikan ruang lingkup akses yang terlalu sempit serta birokrasi yang rumit, sehingga DJP menginginkan diberikan akses yang lebih luas serta waktu proses yang lebih singkat. Sistem tata hukum Indonesia yang mengatur relation antara rahasia bank dengan pajak antara lain tertuang dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, serta Peraturan Menteri Keuangan No.87/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti Dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan.
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 ayat 28 berbunyi, “Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah dan simpanannya”. Dan dalam Pasal 41 ayat 1 Rahasia Bank dikecualikan untuk Perpajakan, yang berbunyi, “Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.” Kemudian dalam Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tertuang dalam pasal 35 ayat (1) yang berbunyi, “Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta”. Serta ayat (2) yang berbunyi, ”Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan”.
Dari kedua penjelasan Undang-Undang tersebut, mari kita susun poin-poin apa saja yang sekiranya penting untuk diperhatikan.
1. Kewajiban merahasiakan bank ditiadakan hanya untuk keperluan pemeriksaan pajak, pengaihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan.
2. Kewajiban merahasiakan bank ditiadakan tersebut atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
3. Permintaan tertulis dari Menteri Keuangan tersebut selanjutnya akan diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia.
4. Kemudian Gubernur Bank Indonesia baru akan mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak, pengaihan pajak, atau penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan.
Benang merah yang bisa ditarik dari klausal diatas adalah pertama ruang lingkup DJP untuk dapat melakukan akses rahasia bank hanya dapat dilewati oleh tiga pintu, yakni pemeriksaan, penagihan dan penyidikan dibidang perpajakan, yang artinya DJP baru bisa mengakses data perbankan hanya jika terjadi kasus dibidang perpajakan yang menyangkut WP tertentu. Padahal yang dibutuhkan DJP saat ini adalah akses bank yang sifatnya rutinitas. Alasan kuat yang membuat DJP sangat ingin sekali dapat mengakses data bank tanpa harus melalui by request adalah keakuratan data yang dimiliki oleh bank serta penggalian potensi penerimaan pajak yang besar. Jika DJP dapat menerobos rahasia bank tanpa batasan waktu, WP yang selama ini tidak jujur dalam pengisian SPT tidak akan bisa berkilah lagi, karena DJP dapat memantau setiap saat aliran dana yang masuk-keluar ke dan dari rekening nasabah. Dengan begitu akan terjadi check and ballance apakah pajak yang dibayar memang telah sesuai dengan arus masuk penghasilan ke rekening WP tersebut atau tidak. Disinyalir hingga saat ini banyak WP yang tidak jujur dalam pembayaran pajaknya, hal ini diperkuat dengan pernyataan Chandra Budi, Kepala Seksi Hubungan Eksternal DJP (2014),”Tidak semua wajib pajak itu melaporkan dan mungkin jujur dengan kondisi sebenarnya”. Terlebih masih banyak masyarakat yang terbilang mampu secara ekonomi, namun mereka enggan untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Dengan pemantauan rekening nasabah, maka DJP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan sebagaimana tertuang dalam UU KUP pasal 2 bagi Wajib Pajak yang dinilai mampu untuk melakukan kewajiban perpajakannya serta memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan problematika yang kedua yang tak kalah krusial adalah birokrasi perizinan yang berbelit dan memakan waktu yang lama karena harus melalui berbagai pihak hanya untuk mendapatkan izin menembus rahasia perbankan. Dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, dalam Pasal 6 ayat (2) a berbunyi, “Pembukaan sebagaiana dimaksud dalam ayat (1) harus ditandatangani dengan membubuhkan tandatangan basah oleh Menteri Keuangan untuk kepentingan perpajakan”. Bisa dibayangkan berapa rumitnya birokrasi yang harus dilalui serta berapa lama waktu yang terbuang hanya untuk mendapatkan perintah tertulis. Ketika akan dilakukan pemeriksaan pajak terhadap WP tertentu untuk dapat membuka rekening bank, tidak bisa serta merta langsung meminta tanda tangan Menteri Keuangan, semua harus melalui birokrasi terendah hingga tertingga (bottom up). Dimulai dengan mengajukan surat permohonan maksud dan tujuan untuk membuka rahasia bank ke Kepala Kantor Pajak Pratama, kemudian diteruskan ke Kepala Kanwil, lalu diteruskan ke Kantor Pusat DJP untuk diserahkan ke Dirjen Pajak, lalu baru disampaikan ke Menteri Keuangan dan disampaikan ke OJK selaku otoritas pemegang kekuasaan yang kini tidak lagi ditanganani BI. Muncul pertanyaan besar, bagaimana jika yang ingin mengajukan adalah Kantor Pajak yang terdapat di daerah, misalnya Papua? Tentu surat permohonan tersebut akan memakan waktu yang sangat lama untuk bisa sampai ke meja Menteri Keuangan.
Meskipun semangat untuk membuka akses bank adalah demi kepentingan penerimaan negara, namun hal ini mendapat reaksi keras dari dunia perbankan. Banyak opini yang berkembang dari para bankir, mereka mengkhwatirkan jika DJP diberikan akses bank secara langsung dengan sistem yang belum memadai seperti saat ini, data nasabah akan bocor ke pihak luar sehingga trust nasabah ke bank akan mengalami depresiasi. Nasabah akan berfikir bahwa bank dalam negeri bukan lagi tempat yang aman untuk menyimpan uang mereka. Sehingga nasabah akan berbondong-bondong menarik cash mereka dari bank dalam negeri untuk kemudian menyimpannya di bank luar negeri. Yang sudah pasti efeknya adalah menggangu kestabilan perkonomian negara.
PENUTUP
Jika semangat dari dua institusi yakni DJP dan Perbankan adalah sama, yakni untuk membangun ekonomi Indonesia, tentu pertentangan adu kepentingan seharusnya tidaklah terjadi berlarut-larut. Yang dibutuhkan oleh kedua belah pihak adalah harmonisasi kebijakan antara satu dengan yang lainnya. Mencari win-win solution diantara resistence, misalnya saja DJP harus bisa meyakinkan para stakeholders bagaimana persiapan serta formula jika akses bank tersebut diberikan agar data nasabah tidak bocor ke pihak ketiga? Meskipun DJP ingin menggandeng OECD dalam melakukan sistem pengamanan, lantas apakah panduan yang diberikan OECD bisa diterapkan di Indonesia dengan melihat IT DJP yang terbatas, SDM DJP yang tidak memadai, serta melihat lingkungan intern perbankan Indonesia yang dinilai sangat liberal dan tentunya apakah benar DJP bisa menjamin data nasbah tidak akan bocor? Tentu semua butuh kajian mendalam serta ekstra kehati-hatian yang tinggi. Pun dengan Perbankan, jika DJP memang dinilai telah mapan untuk dapat menerapkan akses bank dengan berbagai syarat serta kajian mendalam, sebaiknya dunia Perbankan juga harus memberikan kepercayaan kepada DJP. Jangan lagi berdalih dengan alasan trust dari nasabah akan memudar, yang menyebabkan perbankan dalam negeri akan kehilangan orientasinya karena nasabah lebih memilih menyimpan uangnya diluar negeri. Karena sudah banyak pula negara lain yang mengizinkan Otoritas Pajak negaranya untuk dapat mengakses bank, misalnya saja Amerika yang terkenal dengan negara kapitalisnya, serta Swiss yang terkenal dengan tempatnya bank paling aman didunia telah memperbolehkan Otoritas Pajaknya untuk dapat mengakses rahasia bank. Lantas yang dibutuhkan semua pihak kini adalah duduk bersama demi kepentingan NKRI.
Semoga Bermanfaat.
Oleh: Muhammad Irfan Maulana
Daftar Pusatak
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank
Undang-Undang
No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana
Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
Peraturan
Menteri Keuangan No.87/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau
Bukti Dari Pihak-Pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/komentar/2014/10/15/051800926/Ditjen.Pajak.Ngotot.Ingin.Bisa.Akses.Rekening.Nasabah.Bank
diakses pada 3 Februari 2015
http://www.tempo.co/read/news/2014/03/03/087559094/OJK-Tolak-Buka-Data-Nasabah-Bank-untuk-Pajak
diakses pada 3 Februari 2015
http://keuangan.kontan.co.id/news/pajak-gencar-mengincar-nasabah-bank
diakses pada 3 Februari 2015
Majalah
Pajak Volume II-2013
Wibisono, Agung dan
Chamelia Gunawan. Pembukaan Rahasia Bank Untuk Kepentingan Pemeriksaan
Perpajakan Menurut Perundang-Undangan Yang Berlaku Di Inonesia. 2011
http://www.tempo.co/read/news/2014/03/12/090561483/Buka-Data-Nasabah-Bank-Pajak-Gandeng-OECD
diakses pada 3 Februari 2015
terimakasih banyak, sangat menarik sekali...
BalasHapus