RELEVANSI TAX RATIO DENGAN REGULASI YANG ADA

10.54 Unknown 4 Comments



           Pajak sebagai tulang punggung terbesar sumber penerimaan negara memang selalu menarik untuk dikaji, baik dari aspek materil maupun formil. Mengulas dunia pajak bak menyelasaikan benang kusut. Tak akan ada ujungnya dan sangat sulit untuk dicari solusinya. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Keuangan sebagai instansi yang mempunyai power sebagai regulator dunia perpajakan di Indonesia telah menyadari betul bahwa masih banyak sekali potensi pajak yang sulit digarap atau memang sangat mustahil untuk digarap dengan keadaan yang ada sekarang. Menurut Fuad Rahmany (2014) dengan jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang hanya mencapai 31.000, sangat sulit untuk dapat menggali potensi pajak dari seluruh rakyat Indonesia yang jumlahnya 240 juta, dengan jumlah wajib pajak terdaftar 20 juta dan tambahan jumlah wajib pajak potensial sebesar 40 juta. Dengan komposisi yang ada sekarang, jumlah Account Representative (AR) hanya sebanyak 10.000 orang, itu artinya 1 AR harus mengawasi 6.000 wajib pajak. Menururt data yang penulis dapat dari salah satu buku Asia Development Bank yang berjudul “A Comparative Analisys of Tax Administration in Asia  and The Pacific”, Malaysia dengan jumlah penduduk 29 juta dan tenaga kerja 12,68 juta  mempunyai pegawai pajak 10.200, Thailand dengan jumlah penduduk 64,08 juta dan tenaga kerja 38,90 juta mempunyai pegawai pajak 19.413, Cina dengan jumlah penduduk 1.341,98 juta dan tenaga kerja 785,8 juta mempunyai jumlah pegawai pajak 755.000, Jepang dengan jumlah penduduk 127,82 juta dan tenaga kerja 65,91 juta mempunyai jumlah pegawai pajak 56.261, sedangkan Indonesia dengan jumlah penduduk 241,60 juta dan jumlah tenaga kerja 117,37 juta mempunyai pegawai pajak 31.410. Jika dibagai dalam hitungan rata-rata anatara jumlah pegawai pajak dengan tenaga kerja adalah Malaysia 1:2001, Thailand 1:2003, Cina 1:1040, Jepang 1:1171, sedangkan Indonesia 1:3736, itu artinya pegawai pajak Indonesia masih yang tertinggi  memikul target pajak dalam hal hitung-hitungan matematis.
           Menurut Benyamin Franklin nothing is certain but dead and tax. Dan kedua hal itu pula yang akan selalu dihindari oleh manusia, pertama adalah kematian dan yang kedua adalah pajak. Jika kematian sangat sulit untuk dihindari oleh manusia, tidak demikian dengan pajak. Manusia akan selalu mecari cara untuk menghindari pajak, baik melalui tax evasion (penggelapan pajak) maupun melalui tax avoidance (penghindaran pajak) dengan cara mencari celah dalam grey area peraturan perpajakan. Naluri manusia hirarkinya adalah untuk menjadi kaya, sedangkan pajak adalah salah satu instrumen pengurang kekayaan seseorang. Oleh sebab itu adalah hal yang menjadi suatu kewajaran jika pajak sangat dihindari oleh seluruh manusia, karena sangat jarang manusia yang dengan suka rela mau membayar sesuatu tanpa hasil yang dapat dirasakan langsung manfaatnya. Walaupun pajak sudah sangat dapat dirasakan manfaatnya secara langsung, seperti di negara-negara Eropa, masyarakat masih berfikir dua kali untuk mau membayar pajaknya dengan bukti masih banyaknya terjadi kasus pengemplangan pajak di Eropa, apalagi seperti di Indonesia, fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah untuk sarana dan prasarana publik sangatlah minim, mulai dari trasnportasi publik yang kurang layak, biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal, jalan raya yang berlubang-lubang hingga taman bermain yang tidak tersedia, membuat masyarakat semakin enggan untuk membayar pajaknya karena sangat tidak dirasakan secara langsung dampaknya.
 Sangat sulit meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk mau membayar pajaknya. Berbagai upaya pun telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan kewenangan yang terbatas, baik upaya intensifikasi melalui peningkatan mutu pegawai dan penyempurnaan undang-undang pajak hingga ekstensifikasi melalui perluasan objek pajak, salah satunya melalui kebijakan sunset policy yang dilakukan pada tahun 2008. Namun nyatanya kebijakan itu pun tidak dapat meningkatkan tax ratio di Indonesia. Menurut World Bank tax ratio Indonesia pada tahun 2012 sebesar 12%  tidak jauh berbeda sebelum diadakan sunset policy pada tahun 2007 sebesar 12,43%. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN pada tahun 2012, tax ratio Indonesia bisa dibilang masih dibawah rata-rata. Dengan Malaysia 16,1%, Singapura 14%, dan Thailand 16,5%.
Ketika fenomena yang terjadi adalah sulitnya untuk mengubah persepsi masyarakat dalam waktu dekat untuk “Bangga Bayar Pajak”, kebijakan Pemerintah yang ada sekarang pun tidak pro pada DJP sebagai instansi penghimpun pajak negara. Hal ini bisa dilihat dari kewenangan DJP yang terbatas. Misalnya dalam hal mengajukan tambahan pegawai, DJP harus terlebih dulu melalui KemenPAN-RB layaknya penerimaan PNS pada umumnya yang membutuhkan waktu cukup lama. Idealnya pengajuan tambahan pegawai pajak harus lebih bersifat dinamis dan fleksible tanpa harus mengikuti birokrasi yang panjang. Begitupun dengan pemberhentian pegawai yang dirasa kurang kompeten sangat sulit dilakukan karena Pegawai DJP yang saat ini berstatus PNS sehingga harus melalui mekanisme birokrasi yang telah ditentukan. Kedua dalam hal anggaran. DJP yang masih berada dalam unit vertical Kementerian Keuangan akan sangat terbatas dalam hal kewenangan pengalokasian anggarannya, berbeda jika DJP menjadi Badan Otoritas Pajak, maka akan lebih luwes dalam hal pengajuan dan perubahan anggaran.
Penyebab rendahnya tax ratio Indonesia adalah selain karena faktor eksternal dari tidak patuhnya wajib pajak membayar pajak serta belum tergarapnya potensi pajak yang ada, juga dari faktor internal yang menggunakan metode perhitungan untuk tax ratio yang berbeda. Menurut Kristian Agung dalam artikelnya berjudul “Quo Vadis Tax Ratio Indonesia” yang dilansir oleh BPPK, rumus tax ratio adalah:
Tax ratio=(∑Pajak)/GDP...........................................(1)
Ini artinya tax ratio mengidentifikasikan bahwa semakin tinggi penerimaan pajak suatu negara, maka semakin tinggi pula peningkatan tax ratio itu (ceteris paribus). Perbedaan penghitungan terjadi pada definisi ∑Pajak atau total penerimaan pajak. Menurut World Bank ∑Pajak adalah total pajak yang diterima oleh pemerintah pusat saja. Namun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan ∑Pajak adalah total pajak yang diterima oleh pemerintah pusat ditambah dengan pajak yang diterima pemerintah daerah dan bagi hasil sumber daya alam oleh pemerintah daerah. Karena selama ini banyak pengamat yang menggunakan formula World Bank dalam penghitungan tax ratio, maka wajar saja jika tax ratio Indonesia sangatlah rendah. Hal ini akan memberikan hasil yang cukup jauh berbeda jika menggunakan formula yang dikeluarkan oleh OECD. Mengingat Indonesia adalah negara yang sangat luas yang terdiri dari 34 Provinsi, dan 514 Kabupaten/Kota (Desentralisasi). Terlebih Pemerintah Pusat sudah menyerahkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB P2) untuk dikelola oleh Pemerintah Daerah, itu artinya jika menggunakan formula World Bank, terdapat loss tax yang disengaja oleh Pemerintah Pusat dalam penerimaan pajaknya, yang mengakibatkan kecenderunagan tax ratio menjadi lebih rendah. Oleh sebab itu negara dengan sistem desentralisasi sebesar Indonesia sudah sepatutnya memperhitungkan pajak daerah dalam perhitungan tax ratio.
Disaat sudah ruwetnya permasalahan yang berasal dari faktor eksternal untuk dapat meng-growth up-kan tax ratio, disisi yang lain ternyata Pemerintah membuat blunder dengan mengeluarkan kebijakan yang saling timpang tindih antara Undang-Undang (UU), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Pemerintah (PP) ataupun dengan Peraturan-peraturan lain yang menimbulkan grey area dan seringkali dimanfaatkan oleh wajib pajak badan dalam tax planning atau tax management untuk melakukan tax avoidance. Untuk pembahasan ini penulis akan membahasnya dilain kesempatan karena lebih tepat dalam tema pembahasan “Cara Penghindaran Pajak” dibandingkan dengan “Tax Ratio”.
SOLUSI:
1.         Penguatan Data Base Pajak melalui sistem yang terintegrasi, misalnya menggunakan Single Identification Number (SIN). Menurut Chairil Anwar dalam bukunya yang berjudul Optimizing Corporate Tax Management, SIN yaitu identitas tunggal yang dipergunakan setiap warga Negara ketika ingin mendapatkan pelayanan publik, mencakup identitas kependudukan, Surat Ijin Mengemudi (SIM), perpajakan (NPWP), dan perbankan. Bahkan sudah banyak Negara yang sudah memiliki SIN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Amerika Serikat dan Kanada. Di Amerika sendiri telah terbukti berhasil memberikan konstribusi yang cukup besar bagi penerimaan pajak. Dengan begitu pegawai DJP akan sangat terbantu dalam hal melakukan pengawasan.
2.       Penguatan Undang-undang bisnis daring (e-commerce). Meskipun telah keluarnya SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce, tetap saja masih banyaknya potensi pajak yang hilang, terutama berupa PPN.
3.       Penguatan kewenangan institusi pajak. Misalnya dalam hal keluwesan penggunaan anggaran dan penyesuaian struktur pegawai tidak harus melalui birokrasi yang ruwet karena sifatnya yang mendesak.
4.       Tambahan kewenangan DJP dalam hal mengakses data bank wajib pajak (bankable). Sehingga dapat dilihat arus keluar maupun masuknya uang dari rekening wajib pajak. Dengan begitu jika ada uang masuk ke rekening wajib pajak, DJP berhak menanyakan asal usulnya. Jika itu asalnya merupakan salah satu objek pajak dalam pasal 4 ayat 1 dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 maka wajib untuk dikenakan pajak.
5.       Penerapan Reward and Punishment. Reward bisa berupa insentif gaji ataupun insentif kenaikan pangkat jika bisa melebihi target pajak yang telah ditetapkan dan Punishment dapat berupa sangsi penurun pangkat, muatsi, atau diberhentikan jika tidak bisa mencapai target pajak yang telah ditetapkan. Dengan begitu lebih memacu pegawai pajak untuk dapat bekerja dengan lebih maksimal.
PENUTUP
Pesan dari penulis adalah mari budayakan “BANGGA BAYAR PAJAK”, mulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang. Karena jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Semoga dengan semakin banyaknya rakyat yang sadar pajak, penerimaan negara meningkat, pembangunan dapat dilakukan, rakyat miskin berkurang, dan Indonesia akan menjadi negara yang terpandang.
Terima Kasih, semoga bermanfaat!

Oleh: Muhammad Irfan Maulana
Daftar Pustaka:
Prasetyo, Kristian Agung (2014). QUO VADIS TAX RATIO INDONESIA. http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12643-quo-vadis-tax-ratio-indonesia 
http://www.pajak.go.id/content/news/dirjen-pajak-tax-ratio-indonesia-tinggi-ada-kesalahan-penghitungan-tax-ratio, diakses tanggal 13 Januari 2015
Pohan, Cairil Anwar (2011). Optimizing Corporate Tax Management. Jakarta: Bumi Aksara
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_tax_revenue_as_percentage_of_GDP, diakses pada 13 Januari 2015
http://www.adb.org/publications/comparative-analysis-tax-administration-asia-and-pacific, diakses pada 14 Januari 2015
http://www.pajak.go.id/content/article/kewenangan-otoritas-pajak-untuk-meningkatkan-tax-ratio, diakses pada 14 Januari 2015

4 komentar:

  1. duhh,,tulisannya gak kebaca mas kalo pake pc,,, coba warna fontnya diganti,,atau warna bagroundnya

    BalasHapus
  2. iya nanti diganti, makasih masukannya. :)

    BalasHapus
  3. Penghitungan dari Tax Ratio, jika menggunakan model OECD, mungkin terlihat bisa memberikan dampak yang bagus. Namun, untuk pendapatan daerah, bukankah nanti masuk ke PNBP?.
    Keseluruhan saya setuju dengan saran dari anda untuk peningkatan intern Instansi, Namun, berdasarkan apa yang saya amati di lapangan, keluhan dari WP adalah Regulasi yang berbelit ( Tarif, norma, hitungan, SPT yang tidak tetap).
    Semoga tumpang tindih peraturan, grey area, dan kerumitan dokumen segera menjadi bahan pertimbangan kedepannya.

    BalasHapus
  4. menurut UU No. 20 Tahun 1997 pasal 2 ayat 1, termasuk PNBP adalah:
    a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;
    b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
    c. penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;
    d. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;
    e. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;
    f. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;
    g. penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.

    menurut definisi diatas, tidak disebutkan bahwa pajak yang dipungut oleh daerah dimasukan kedalam PNBP. menurut saya disini yang dimaksud pajak daerah adalah berupa pajak yang dipungut oleh dinas pendapatan daerah, berupa pajak restoran, hotel, reklame, kendaraan, dsb. Itu semua tidak masuk dalam APBN, melainkan APBD daerah masing-masing. Kecuali pendapatan dari bagi hasil sumber daya alam, ada yang dimasukan ke dalam APBN namun ada yang dimasukan kedalam APBD sesuai presentase Dana Bagi Hasil (DBH) yang telah ditentukan.

    menurut saya, tidak ada yang masalah dengan tarif, semua telah terpampang jelas bagaimana perhitungan pph 21, pph 22, pph 23, pph 4 ayat 2, dsb. hanya saja karena kurang sosialisasi oleh DJP sehingga masyarakat tidak mengetahui bagaimana cara perhitungan pajaknya, namun untuk melakukan konsultasi terhadap perhitungan wajib pajak, masyarakat bisa menelfon KRING PAJAK di 500200 atau bisa langsung datang ke kantor pajak domisili untuk bertemu dengan AR yang mengurusi bagian Wajib Pajak tersebut. Jika ada kemauan sebenarnya semua bisa berjalan.

    dan untuk SPT, memang ada beberapa perubahan. Dan perubahan itu tujuannya adalah untuk menyempurnakan kelemahan/kekurangan-kekurangan yang ada pada SPT sebelumnya, misalnya sekarang masyarakat sudah bisa melalui drop box, kemudian dapat melaporkan SPT secara online melalu e-SPT atau e-Filling, lalu kenapa masyarakat menolak perubahan, jika tujuannya adalah untuk perbaikan?

    saya akui memang sebenarnya masih banyak kelemahan dalam menghimpun pajak, namun dengan reformasi perpajakan yang selalu didengungkan, saya yakin lambat laun DJP akan semakin baik, namun perlu digaris bawahi, semua perlu dukungan masyarakat, jangan karena sistem yang tdak baik lalu masyarakat tidak mau membayar pajak, untuk membayar pajak tidak perlu harus menunggu sistem DJP yang baik terlebih dahulu.

    Terima kasih masukannya mas/mba anonim :)

    BalasHapus