MENGENAL FAKTUR FIKTIF DAN PENANGANANNYA

00.38 Unknown 2 Comments



           Kasus pengemplangan pajak yang paling marak terjadi di Indonesia adalah penggunaan faktur pajak fiktif. Sebenarnya kasus ini bukanlah hal yang baru dalam dunia perpajakan nasional, namun karena terbilang masih susah untuk terdeteksi oleh petugas pajak, maka cara ini masih menjadi primadona dikalangan pengusaha untuk dapat menghindar dari pembayaran pajak. Faktur Pajak Fiktif sering disalah artikan. Maksud dari Faktur Pajak Fiktif adalah bukan karena fakturnya yang fiktif dari segi wujud, namun fiktif dari segi transaksi yang tertera dalam faktur tersebut.
           Menurut SE-132/PJ/2010 tentang Langkah-langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah, dalam pasal 1 berbunyi; yang dimaksud dengan Faktur Pajak Tidak Sah adalah Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan kata lain faktur pajak dikatakan fiktif apabila faktur pajak tersebut dikeluarkan oleh orang pribadi ataupun pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP. Selain itu, meski diterbitkan oleh PKP, namun jika transaksi yang tercantum dalam faktur pajak tersebut adalah bukan transaksi yang sebenarnya, maka faktur pajak tersebut juga dikatakan fiktif. Selain kedua klausal diatas, faktur fiktif juga dapat terjadi dalam hal perusahaan yang mengeluarkan faktur tersebut memang benar terdaftar sebagai PKP, namun perusahaannya fiktif.
           Modus yang digunakan adalah dengan mendirikan perusahaan serta kepengurusan perusahaan fiktif. Kemudian faktur pajak yang diterbitkan oleh perusahaan fiktif tersebut dijual ke berbagai perusahaan yang berniat menggunakan faktur tersebut sebagai pengurang jumlah pajaknya. Dengan kata lain, antara perusahaan fiktif dengan perusahaan rekanan yang membeli faktur tersebut hakikatnya sama sekali tidak terjadi transaksi apapun baik penyerahan BKP ataupun JKP namun pendiriannya ditujukan semata-mata hanya untuk menerbitkan faktur. Menurut Plt. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Wahju Tumakaka modus penerbit faktur pajak fiktif ini adalah menerbitkan faktur pajak tanpa didasari dengan transaksi yang sebenarnya, dengan kata lain hanya berdasarkan pesanan wajib pajak pengguna/pembeli. Pembeli dapat memperoleh faktur fiktif tersebut hanya dengan membeli sebesar 14%-30% dari nilai Daftar Pengenaan Pajak PPN (DPP PPN) yang tertera dalam faktur tersebut. Faktur pajak fiktif biasanya digunakan untuk mengurangi jumlah PPN terutang.
           Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PPN dikenakan dalam setiap proses produksi Barang Kena Pajak (BKP) ataupun Jasa Kena Pajak (JKP) mulai dari pembelian bahan baku, hingga penjualan barang jadi. Mekanisme pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Penjual yang akan menjual barang dagangannya selanjutnya menerbitkan faktur pajak yang disebut sebagai Pajak Keluaran (PK) dan akan dikreditkan oleh pembeli sebagai Pajak Masukan (PM). Dengan mekanisme ini, pajak yang akan diterima oleh negara adalah sebesar PK dikurangi PM. Dan disinilah biasanya PKP bermain, dengan cara mengecilkan jumlah PK atau membesarkan jumlah PM sehingga pajak terutang menjadi lebih kecil dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
           Kerumitan dalam menangani kasus seperti ini adalah selain melibatkan banyak pihak juga didukung perusahaan fiktif yang terlampau banyak jumlahnya sehingga sangat sulit untuk terdeteksi. Menurut Fuad dari awal Januari sampai dengan pertengahan Agustus 2012 saja Pemerintah telah mencabut izin 196.000 perusahaan sebagai Pengusaha Kena Pajak  dari target 300.000 perusahaan fiktif, dan angka ini akan bertambah setiap tahunnya. Perusahaan-perusahaan fiktif tersebut menyalahgunakan status PKP untuk dapat mengeluarkan faktur pajak. Begitu banyaknya perusahaan fiktif tersebut dikarenakan mudahnya prosedur untuk mendapatkan status perusahaan menjadi pengusaha kena pajak.
           Melihat hilangnya potensi penerimaan negara setiap tahun yang mencapai triliunan akibat faktur fiktif, pemerintah dalam hal ini diwakili DJP tidak hanya berdiam diri. Berbagai cara terus dilakukan guna melakukan pembenahan dalam upaya peningkatan pelayanan dan pengelolaan administrasi PPN. Upaya yang dilakukan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pada tahun 2012 DJP telah melakukan registrasi ulang bagi Pengusaha yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak. Menurut PER-20/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 tentang Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012, Program registrasi ulang ini dimulai dari bulan Februari 2012 sampai dengan 31 Desember 2012. Dalam program registrasi ulang ini, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia akan meneliti kembali mulai dari kebenaran kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha hingga mengecek keberadaan dan kesesuaian alamat pengusaha yang bersangkutan. Apabila dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pengusaha yang bersangkutan  telah tutup atau sudah tidak melakukan usaha lagi, maka status pengukuhannya sebagai PKP akan dicabut. Dengan dicabutnya status pegukuhan PKP bagi pengusaha yang bersangkutan, maka Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas penjualan barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut tidak lagi dapat dikreditkan oleh pihak pembeli.

2. Pada tanggal 1 Juni 2013, DJP mulai menerapkan aplikasi Elektronik Penomoran Faktur Pajak atau E-Nofa pada Kantor Pelayanan Pajak atas implementasi dari PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak. E-Nofa adalah sistem atau aplikasi baru penomoran faktur pajak. Penerapan E-Nofa ini didasari dari maraknya penyalahgunaan faktur yang tata cara penomorannya dilakukan sendiri oleh PKP. Sehingga PKP bebas untuk menerbitkan berapapun faktur yang diinginkan. Kini dengan adanya E-Nofa, PKP tidak lagi leluasa untuk menomori fakturnya sendiri, melainkan tata cara penomoran faktur akan dijatah oleh DJP. Tidak semua PKP bisa mendapatkan E-Nofa, hanya pengusaha yang selama ini tertib membayar pajak serta diyakini keberadaanya saja yang akan mendapat jatah nomor faktur pajak ini.

3. Pada bulan April Tahun 2014 DJP mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dalam pasal 1 ayat (1) batasan omzet pengusaha kecil yang wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak(PKP) atau wajib memungut dan menyetor PPN dinaikan menjadi Rp4,8 miliar setahun dari sebelumnya Rp600 juta setahun. Hal ini setidaknya dapat meminimalisir untuk membatasi jumlah faktur fiktif yang beredar. Dengan naiknya batasan omzet ini, maka bagi PKP dengan omzet dibawah 4,8 miliar dan memilih untuk menjadi non PKP, tidak diwajibkan lagi untuk membuat Faktur Pajak.

4. Pada bulan September 2014 DJP telah membentuk Satgas Penanganan Faktur Pajak Yang Tidak Berdasarkan Nilai Transaksi Yang Sebenarnya. Ada tiga pertimbangan mengapa satgas ini dibentuk. Pertama penanganan faktur pajak selama ini belum menyentuh para pengguna faktur pajak bermasalah. Selama ini DJP lebih terfokus kepada para penerbit faktur pajak fiktif tersebut karena lebih mudah untuk mendeteksinya. Namun penanganan kepada penerbit selama ini ternyata tidak menghilangkan minat pasar untuk meminta atau membeli faktur bermasalah, oleh sebab itu kini DJP juga akan membidik para pengguna faktur pajak fiktif tersebut. Kedua ternyata modus-modus yang digunakan untuk mengedarkan atau menerbitkan faktur fiktif tersebut masih terus marak terjadi bahkan berkembang lebih canggih sekalipun DJP sudah melakukan perbaikan dari sisi administrasi, yakni menggunakan pendaftaran dan pendataan faktur pajak dengan skema pembatasan, ternyata masih mereka gunakan juga celah atau lubang faktur pajak ini agar bisa digunakan. Dan ketiga adalah untuk efisiensi waktu dalam hal penanganan kasus faktur fiktif,karena jika dengan pendekatan bukti permulaan (buper) dan penyidikan akan memakan waktu yang lama hingga bertahun-tahun terlebih harus pula ke sidang yang tidak dapat dipastikan kapan inkrahnya.

5.  Pada tanggal 10 Februari DJP melakukan soft launching aplikasi e-Faktur. E-Faktur adalah suatu sistem yang selama ini diidam-idamkan oleh DJP untuk dapat menangkal faktur pajak fiktif. Menimbang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, maka ditetapkan KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik. Dalam KEP-136/PJ/2014 tertuang e-Faktur terlebih dahulu akan diberlakukan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya di Jakarta mulai 1 Juli 2014. Kemudian setahun kemudian, tapatnya tanggal 1 Juli 2015, e-Faktur akan diberlakukan untuk seluruh KPP di Kantor Pelayanan Pajak Pulau Jawa dan Bali.  Dan pada pada tanggal 1 Juli 2016 serentak e-Faktur akan diberlakukan secara nasional. Jika selama ini Faktur Pajak baik penerbitan ataupun pelaporan dilakukan secara manual dan tidak terhubung dengan sistem DJP, misalnya untuk penjualan hari ini namun baru dilaporkan bulan juli, namun dengan e-Faktur hal tersebut tidak lagi dapat dilakukan. Faktur Pajak yang dikeluarkan PKP akan langsung terhubung ke database Ditjen Pajak. Misalnya saja laporan barang yang dijual hari ini akan langsung masuk ke sistem dan dapat direspon untuk memberikan faktur pajak. Dan hingga tahun 2016 jika masih ada PKP yang tidak menggunakan sistem ini dapat dicabut izinnya, serta apabila masih ada faktur manual yang beredar akan dianggap tidak sah.

PENUTUP

Meskipun berbagai cara telah digunakan DJP guna menghilangkan praktik faktur fiktif, penulis berkayakinan bahwa praktik faktur fiktif akan terus ada di negeri ini, karena hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di seluruh dunia. Disaat cara baru atau sistem terbaru dikeluarkan oleh DJP, pada saat itu pula lah para pengusaha nakal akan mencari cara untuk dapat menembus celah sistem baru tersebut. Namun dengan komit yang kuat untuk mentransformasi DJP kedalam sistem yang modern, semoga langkah-langkah yang ditempuh DJP setidaknya dapat meminimalisir terjadinya praktik faktur fiktif.

Semoga Bermanfaat. Terima Kasih
Oleh: Muhammad Irfan Mualana

Daftar Pustaka:


SE-132/PJ/2010 tentang Langkah-langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah PPN

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/Pmk.011/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak

PER-20/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 tentang Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012

PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak

PER-16/Pj/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik
PER-20/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 tentang Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012

Antisipasi Faktur Fiktif, Ditjen Pajak Terapkan Sistem Online http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/503203-antisipasi-faktur-fiktif--ditjen-pajak-terapkan-sistem-online diakses pada 25 Januari 2015

Cegah Faktur Pajak Fiktif, Penomorannya Diatur Ulang http://news.detik.com/read/2013/05/06/010007/2236840/727/cegah-faktur-pajak-fiktif-penomorannya-diatur-ulang?nd771104bcj diakses pada 25 Januari 2015

Ditjen Pajak Bentuk Satgas Untuk Kejar Pemain Faktur Pajak Fiktif http://www.pajak.go.id/content/ditjen-pajak-bentuk-satgas-untuk-kejar-pemain-faktur-pajak-fiktif diakses pada 25 Januari 2015

Ditjen Pajak Fokus Tangani Pelaku Bisnis Faktur Pajak Fiktif http://www.pajak.go.id/content/ditjen-pajak-fokus-tangani-pelaku-bisnis-faktur-pajak-fiktif diakses pada 25 Januari 2015

E-Nofa, sistem baru Ditjen Pajak cegah faktur pajak fiktif http://www.pajak.go.id/content/e-nofa-sistem-baru-ditjen-pajak-cegah-faktur-pajak-fiktif diakses pada 25 Januari 2015

Kasus Faktur Pajak Fiktif: 40 Perusahaan Gunakan Jasa Tersangka http://kabar24.bisnis.com/read/20140502/16/224136/kasus-faktur-pajak-fiktif-40-perusahaan-gunakan-jasa-tersangka diakses pada 25 Januari 2015

Faktur Pajak Dipalsukan Negara Tekor Triliunan http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=27912 diakses pada 25 Januari 2015

Ditjen Pajak Luncurkan e-Faktur Pajak http://www.pajak.go.id/content/news/ditjen-pajak-luncurkan-e-faktur-pajak diakses pada 26 Januari 2015

Soft Launching dan Pembukaan Piloting Aplikasi e-Faktur Pajak http://www.pajak.go.id/content/flash-foto/soft-launching-dan-pembukaan-piloting-aplikasi-e-faktur-pajak diakses pada 26 Januari 2015

Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak http://www.pajak.go.id/content/registrasi-ulang-pengusaha-kena-pajak diakses pada 26 Januari 2015

2 komentar:

AMBIGUITAS PERAN ACCOUNT REPRESENTATIVE

21.51 Unknown 2 Comments



         Salah satu dari perubahan reformasi biokrasi dalam perpajakan yang merupakan perwujudan dari modernsasi perpajakan atau yang lebih dikenal dengan istilah Sistem Administrasi Perpajakan Modern adalah dibentuknya Account Representative (AR).  Sesuai dengan KEP-178/PJ/2004 tentang Cetak Biru (Blue Print) Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2001 sampai dengan Tahun 2010 yang menjelaskan tentang bagaimana penyususnan strategi dan sasaran yang ingin dicapai dari tahun 2001 hingga tahun 2010 untuk dapat memodernisasi sistem perpajakan nasional, maka sebagai penunjang Keputusan tersebut dibentuklah Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengimplementasikan organisasi modern pada tahun 2006. Menururt KMK No. 98/KMK.01/2006 tentang Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak yang Telah Mengimplementasikan Organisasi Modern, pasal 1 ayat 2 berbunyi, yang dimaksud  Account Representative adalah pegawai yang diangkat pada setiap Seksi Pengawasan dan Konsultasi di Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengimplementasikan Organisasi Modern. Dalam pasal 2 ayat 1 dijelaskan, AR mempunyai tugas; melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, bimbingan/himbauan dan konsultasi teknis perpajakan kepada wajib pajak, penyusunan profil Wajib Pajak, analisis kinerja Wajib Pajak, rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka intensifikasi dan melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan fungsi tersebut, yang perlu digarisbawahi pertama adalah kata “Pengawasan” dan kedua adalah kata “Konsultasi” yang dikerjakan oleh satu orang yang sama.
         Konsultasi memberikan arti bahwa AR adalah pegawai DJP yang ditugaskan menjadi konsultan internal DJP untuk Wajib Pajak, dengan kata lain AR adalah mitra (kawan) bagi Wajib Pajak dalam hal memberikan bimbingan (assistence) berupa informasi (information) ataupun pengetahuan (education) perpajakan. Konsultasi disini dapat berupa penjelasan tentang perhitungan pajak yang benar dan bagaimana perlakuan perpajakan terhadap pencatatan akuntansi keuangan atau apapun yang inti dari kesemua itu adalah memberikan pengarahan kepada Wajib Pajak tentang bagaimana Wajib Pajak dapat mengerti akan timbulnya pajak terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Sedangkan pengawasan memberikan arti bahwa AR adalah pegawai DJP yang ditugaskan menjadi pengawas (lawan) Wajib Pajak atas kepatuhan kewajiban perpajakannya. Pengawasan disini dapat berupa mengawasi bagaimana utang pajak dari wajib pajak apakah wajar, mencari potensi pajak yang belum tergarap dari wajib pajak, mengawasi apakah wajib pajak telah membayar pajaknya sesuai dengan pajak yang seharusnya dibayar, mengawasi apakah wajib pajak mendapatkan sangsi berupa bunga atas keterlambatan pembayaran pajaknya dan sebagainya yang inti kesemua itu adalah bagaimana mengawasi kepatuhan dan kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut hemat penulis hakikatnya fungsi Pengawasan dan Konsultasi terhadap Wajib Pajak mempunyai peran yang saling bertolakbelakang (kontradiktif). Menurut Wahju Karya Plt. Direktur Penyuluhan dan Humas DJP, seringkali petugas AR kehilangan orientasi. Ketika AR sedang melakukan konsultasi dengan Wajib Pajak, tapi sifatnya malah mengawasi, begitu pula sebaliknya. Sehingga seringkali timbul conflict of interest pada AR terhadap Wajib Pajaknya. Disatu sisi, AR harus memberikan pelayanan prima dengan menjadi sahabat Wajib Pajak dalam menjalankan peran konsultasi, tetapi disisi lain AR harus bersifat tegas kepada Wajib Pajaknya dalam menjalankan peran pengawasan supaya Wajib Pajak tersebut patuh untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Dan kedua peran ini dapat dilakukan oleh AR kepada Wajib Pajak yang sama dengan waktu yang berbeda bahkan dalam waktu bersamaan karena adanya dualisme peran tersebut. Dengan menjalankan dua peran yang kontradiktif dalam waktu yang bersamaan, maka kedua peran tersebut dirasa tidak akan berjalan efektif.
          Dalam penggabungan peran AR yang kontradiktif, yang paling mengkhwatirkan adalah jika Wajib Pajak berniat melakukan penghindaran pajak ataupun seorang AR yang bisa memanfaatkan perannya untuk memeras Wajib Pajak. Umumnya peran konsultan adalah memberikan pengarahan kepada subjek yang berkonsultasi, arahan tersebut mempunyai dua arah yakni postif dan negatif, semua tergantung keinginan dan kebutuhan subjek yang berkonsultasi. Begitupun dengan konsultan pajak (internal DJP, re: AR). Arahan positif misalnya mengarahkan pembetulan penghitungan pajak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Sebaliknya arahan negatif yakni menjerumuskan untuk melakukan kecurangan dengan berbagai cara misalnya memalsukan laporan keuangan perusahaan, faktur fiktif, dan sebagainya yang dalam kesemua itu terdapat “kong kali kong” antara wajib pajak dengan AR supaya timbulnya utang pajak menjadi lebih kecil dari yang seharusnya. Jika arahan ini ditujukan untuk melakukan kecurangan (arahan negatif) melalui tax evasion ataupun tax avoidance, maka satu-satunya jalan untuk mencegah itu semua ada pada unit yang memegang fungsi pengawasan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan. Lalu bagaimana jika yang memegang fungsi pengawasan tersebut adalah orang yang sama? Tentu jawabannya adalah fungsi pengawasan tidak akan berjalan optimal dalam kasus seperti itu. Begitu pula dengan kasus pemerasan. Pemerasan biasanya dilakukan ketika Wajib Pajak (Badan) melakukan kesalahan pelaporan keuangan yang menyebabkan timbulnya lebih bayar atau seorang AR yang menawarkan diri untuk dapat mengurangi jumlah pajak terutang dengan imbalan tertentu, misalnya saja pada kasus Dhana Widyatmika (Tempo: 2012).
           Namun kita patut bersyukur setelah 8 tahun AR dengan fungsi super power-nya, kini semua akan dikaji kembali setelah dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-13/PJ/2014 tentang Penunjukan Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam Rangka Uji Coba Penataan Tugas dan Fungsi Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Dengan menimbang untuk meningkatkan kinerja AR maka akan dilaksanakan pemisahan tugas dan fungsi AR pada beberapa Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagai uji coba (pilot project). Pemisahan tugas dan fungsi AR tersebut berupa pemisahan Account Representative yang menyelenggarakan tugas dan fungsi pemberian konsultasi dan penyelesaian permohonan pelayanan Wajib Pajak (AR Pelayanan Konsultasi) dan Account Representative yang menyelenggarakan tugas dan fungsi pengawasan dan penggalian potensi Wajib Pajak pada masing-masing Seksi Pengawasan dan Konsultasi (AR Pengawasan). Keputusan Dirjen Pajak ini dilaksanakan mulai tanggal 17 Februari 2014 sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 dan diuji cobakan pada 10 KPP Pratama yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian akan dievaluasi dan akan diterapkan diseluruh Kantor Pelayan Pajak pada tahun 2015. Semoga dengan terpisahnya peran AR ini memberikan angin segar bagi reformasi perpajakan di Indonesia seperti visi DJP, yakni “Menjadi Institusi Pemerintah Penghimpun Pajak Negara yang Terbaik di Wilayah Asia Tenggara”.

PENUTUP

Maksud penulis membahas tema ini adalah semata-mata hanya untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat khususnya untuk penulis akan pentingnya peran AR tanpa bermaksud untuk menjelek-jelekan apalagi menjatuhkan AR. Karena AR yang ditemui penulis dilapangan pun sejauh ini adalah orang baik (bersih) dan belum terduga melakukan praktik korupsi (subjektifitas penulis). AR-AR yang telah tersangkut korupsi hanyalah oknum dan hanya segelintir orang saja dari puluhan ribu AR yang ada, dengan bukti telah terkumpulnya ribuan triliun rupiah dari pajak setiap tahunnya. Jika semua AR adalah oknum, maka penulis berkeyakinan pajak yang terkumpul setiap tahun tidaklah sebanyak itu jumlahnya. Semoga dengan peran AR yang baru dapat meningkatkan penerimaan pajak karena kini pengawasan akan lebih tefokus dari AR pengawasan begitupun dengan pelayanan prima berupa konsultasi gratis akan diberikan oleh AR Pelayanan. Dan yang lebih utama semoga dengan tidak adanya lagi ambiguitas peran AR dapat meminimalisir praktik KKN, sehingga dikemudian hari tidak lagi ditemukan AR-AR yang tersangkut kasus korupsi. Jangan sampai karena nila setitik rusak sebelangga, jangan sampai karena segilintir oknum AR sehingga merusak citra AR.

*catatan: jika terdapat informasi yang dirasa kurang tepat karena kelalaian ataupun ketidaktahuan penulis, penulis siap untuk mengkoreksi jika dirasa sumber yang diberikan kepada penulis adalah valid.

Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Oleh: Muhammad Irfan Maulana

Daftar Pustaka:

KMK No. 98/KMK.01/2006 tentang Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak yang Telah Mengimplementasikan Organisasi Modern

http://finansial.bisnis.com/read/20140710/10/242297/ditjen-pajak-hindari-kerancuan-tupoksi-account-representative-akan-dipisah diakses pada 10 Januari 2015

KEP-13/PJ/2014 tentang Penunjukan Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam Rangka Uji Coba Penataan Tugas dan Fungsi Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama

http://www.tempo.co/read/news/2012/08/10/063422566/p-Dhana-Dituding-Memeras-Wajib-Pajak diakses pada 18 Januari 2015

http://www.pajak.go.id/visi_dan_misi diakses pada 18 Januari 2015

KEP - 178/PJ/2004 tentang Cetak Biru (Blue Print) Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2001 Sampai Dengan Tahun 2010    
     


2 komentar:

RELEVANSI TAX RATIO DENGAN REGULASI YANG ADA

10.54 Unknown 4 Comments



           Pajak sebagai tulang punggung terbesar sumber penerimaan negara memang selalu menarik untuk dikaji, baik dari aspek materil maupun formil. Mengulas dunia pajak bak menyelasaikan benang kusut. Tak akan ada ujungnya dan sangat sulit untuk dicari solusinya. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Keuangan sebagai instansi yang mempunyai power sebagai regulator dunia perpajakan di Indonesia telah menyadari betul bahwa masih banyak sekali potensi pajak yang sulit digarap atau memang sangat mustahil untuk digarap dengan keadaan yang ada sekarang. Menurut Fuad Rahmany (2014) dengan jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang hanya mencapai 31.000, sangat sulit untuk dapat menggali potensi pajak dari seluruh rakyat Indonesia yang jumlahnya 240 juta, dengan jumlah wajib pajak terdaftar 20 juta dan tambahan jumlah wajib pajak potensial sebesar 40 juta. Dengan komposisi yang ada sekarang, jumlah Account Representative (AR) hanya sebanyak 10.000 orang, itu artinya 1 AR harus mengawasi 6.000 wajib pajak. Menururt data yang penulis dapat dari salah satu buku Asia Development Bank yang berjudul “A Comparative Analisys of Tax Administration in Asia  and The Pacific”, Malaysia dengan jumlah penduduk 29 juta dan tenaga kerja 12,68 juta  mempunyai pegawai pajak 10.200, Thailand dengan jumlah penduduk 64,08 juta dan tenaga kerja 38,90 juta mempunyai pegawai pajak 19.413, Cina dengan jumlah penduduk 1.341,98 juta dan tenaga kerja 785,8 juta mempunyai jumlah pegawai pajak 755.000, Jepang dengan jumlah penduduk 127,82 juta dan tenaga kerja 65,91 juta mempunyai jumlah pegawai pajak 56.261, sedangkan Indonesia dengan jumlah penduduk 241,60 juta dan jumlah tenaga kerja 117,37 juta mempunyai pegawai pajak 31.410. Jika dibagai dalam hitungan rata-rata anatara jumlah pegawai pajak dengan tenaga kerja adalah Malaysia 1:2001, Thailand 1:2003, Cina 1:1040, Jepang 1:1171, sedangkan Indonesia 1:3736, itu artinya pegawai pajak Indonesia masih yang tertinggi  memikul target pajak dalam hal hitung-hitungan matematis.
           Menurut Benyamin Franklin nothing is certain but dead and tax. Dan kedua hal itu pula yang akan selalu dihindari oleh manusia, pertama adalah kematian dan yang kedua adalah pajak. Jika kematian sangat sulit untuk dihindari oleh manusia, tidak demikian dengan pajak. Manusia akan selalu mecari cara untuk menghindari pajak, baik melalui tax evasion (penggelapan pajak) maupun melalui tax avoidance (penghindaran pajak) dengan cara mencari celah dalam grey area peraturan perpajakan. Naluri manusia hirarkinya adalah untuk menjadi kaya, sedangkan pajak adalah salah satu instrumen pengurang kekayaan seseorang. Oleh sebab itu adalah hal yang menjadi suatu kewajaran jika pajak sangat dihindari oleh seluruh manusia, karena sangat jarang manusia yang dengan suka rela mau membayar sesuatu tanpa hasil yang dapat dirasakan langsung manfaatnya. Walaupun pajak sudah sangat dapat dirasakan manfaatnya secara langsung, seperti di negara-negara Eropa, masyarakat masih berfikir dua kali untuk mau membayar pajaknya dengan bukti masih banyaknya terjadi kasus pengemplangan pajak di Eropa, apalagi seperti di Indonesia, fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah untuk sarana dan prasarana publik sangatlah minim, mulai dari trasnportasi publik yang kurang layak, biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal, jalan raya yang berlubang-lubang hingga taman bermain yang tidak tersedia, membuat masyarakat semakin enggan untuk membayar pajaknya karena sangat tidak dirasakan secara langsung dampaknya.
 Sangat sulit meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk mau membayar pajaknya. Berbagai upaya pun telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan kewenangan yang terbatas, baik upaya intensifikasi melalui peningkatan mutu pegawai dan penyempurnaan undang-undang pajak hingga ekstensifikasi melalui perluasan objek pajak, salah satunya melalui kebijakan sunset policy yang dilakukan pada tahun 2008. Namun nyatanya kebijakan itu pun tidak dapat meningkatkan tax ratio di Indonesia. Menurut World Bank tax ratio Indonesia pada tahun 2012 sebesar 12%  tidak jauh berbeda sebelum diadakan sunset policy pada tahun 2007 sebesar 12,43%. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN pada tahun 2012, tax ratio Indonesia bisa dibilang masih dibawah rata-rata. Dengan Malaysia 16,1%, Singapura 14%, dan Thailand 16,5%.
Ketika fenomena yang terjadi adalah sulitnya untuk mengubah persepsi masyarakat dalam waktu dekat untuk “Bangga Bayar Pajak”, kebijakan Pemerintah yang ada sekarang pun tidak pro pada DJP sebagai instansi penghimpun pajak negara. Hal ini bisa dilihat dari kewenangan DJP yang terbatas. Misalnya dalam hal mengajukan tambahan pegawai, DJP harus terlebih dulu melalui KemenPAN-RB layaknya penerimaan PNS pada umumnya yang membutuhkan waktu cukup lama. Idealnya pengajuan tambahan pegawai pajak harus lebih bersifat dinamis dan fleksible tanpa harus mengikuti birokrasi yang panjang. Begitupun dengan pemberhentian pegawai yang dirasa kurang kompeten sangat sulit dilakukan karena Pegawai DJP yang saat ini berstatus PNS sehingga harus melalui mekanisme birokrasi yang telah ditentukan. Kedua dalam hal anggaran. DJP yang masih berada dalam unit vertical Kementerian Keuangan akan sangat terbatas dalam hal kewenangan pengalokasian anggarannya, berbeda jika DJP menjadi Badan Otoritas Pajak, maka akan lebih luwes dalam hal pengajuan dan perubahan anggaran.
Penyebab rendahnya tax ratio Indonesia adalah selain karena faktor eksternal dari tidak patuhnya wajib pajak membayar pajak serta belum tergarapnya potensi pajak yang ada, juga dari faktor internal yang menggunakan metode perhitungan untuk tax ratio yang berbeda. Menurut Kristian Agung dalam artikelnya berjudul “Quo Vadis Tax Ratio Indonesia” yang dilansir oleh BPPK, rumus tax ratio adalah:
Tax ratio=(∑Pajak)/GDP...........................................(1)
Ini artinya tax ratio mengidentifikasikan bahwa semakin tinggi penerimaan pajak suatu negara, maka semakin tinggi pula peningkatan tax ratio itu (ceteris paribus). Perbedaan penghitungan terjadi pada definisi ∑Pajak atau total penerimaan pajak. Menurut World Bank ∑Pajak adalah total pajak yang diterima oleh pemerintah pusat saja. Namun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan ∑Pajak adalah total pajak yang diterima oleh pemerintah pusat ditambah dengan pajak yang diterima pemerintah daerah dan bagi hasil sumber daya alam oleh pemerintah daerah. Karena selama ini banyak pengamat yang menggunakan formula World Bank dalam penghitungan tax ratio, maka wajar saja jika tax ratio Indonesia sangatlah rendah. Hal ini akan memberikan hasil yang cukup jauh berbeda jika menggunakan formula yang dikeluarkan oleh OECD. Mengingat Indonesia adalah negara yang sangat luas yang terdiri dari 34 Provinsi, dan 514 Kabupaten/Kota (Desentralisasi). Terlebih Pemerintah Pusat sudah menyerahkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB P2) untuk dikelola oleh Pemerintah Daerah, itu artinya jika menggunakan formula World Bank, terdapat loss tax yang disengaja oleh Pemerintah Pusat dalam penerimaan pajaknya, yang mengakibatkan kecenderunagan tax ratio menjadi lebih rendah. Oleh sebab itu negara dengan sistem desentralisasi sebesar Indonesia sudah sepatutnya memperhitungkan pajak daerah dalam perhitungan tax ratio.
Disaat sudah ruwetnya permasalahan yang berasal dari faktor eksternal untuk dapat meng-growth up-kan tax ratio, disisi yang lain ternyata Pemerintah membuat blunder dengan mengeluarkan kebijakan yang saling timpang tindih antara Undang-Undang (UU), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Pemerintah (PP) ataupun dengan Peraturan-peraturan lain yang menimbulkan grey area dan seringkali dimanfaatkan oleh wajib pajak badan dalam tax planning atau tax management untuk melakukan tax avoidance. Untuk pembahasan ini penulis akan membahasnya dilain kesempatan karena lebih tepat dalam tema pembahasan “Cara Penghindaran Pajak” dibandingkan dengan “Tax Ratio”.
SOLUSI:
1.         Penguatan Data Base Pajak melalui sistem yang terintegrasi, misalnya menggunakan Single Identification Number (SIN). Menurut Chairil Anwar dalam bukunya yang berjudul Optimizing Corporate Tax Management, SIN yaitu identitas tunggal yang dipergunakan setiap warga Negara ketika ingin mendapatkan pelayanan publik, mencakup identitas kependudukan, Surat Ijin Mengemudi (SIM), perpajakan (NPWP), dan perbankan. Bahkan sudah banyak Negara yang sudah memiliki SIN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Amerika Serikat dan Kanada. Di Amerika sendiri telah terbukti berhasil memberikan konstribusi yang cukup besar bagi penerimaan pajak. Dengan begitu pegawai DJP akan sangat terbantu dalam hal melakukan pengawasan.
2.       Penguatan Undang-undang bisnis daring (e-commerce). Meskipun telah keluarnya SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce, tetap saja masih banyaknya potensi pajak yang hilang, terutama berupa PPN.
3.       Penguatan kewenangan institusi pajak. Misalnya dalam hal keluwesan penggunaan anggaran dan penyesuaian struktur pegawai tidak harus melalui birokrasi yang ruwet karena sifatnya yang mendesak.
4.       Tambahan kewenangan DJP dalam hal mengakses data bank wajib pajak (bankable). Sehingga dapat dilihat arus keluar maupun masuknya uang dari rekening wajib pajak. Dengan begitu jika ada uang masuk ke rekening wajib pajak, DJP berhak menanyakan asal usulnya. Jika itu asalnya merupakan salah satu objek pajak dalam pasal 4 ayat 1 dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 maka wajib untuk dikenakan pajak.
5.       Penerapan Reward and Punishment. Reward bisa berupa insentif gaji ataupun insentif kenaikan pangkat jika bisa melebihi target pajak yang telah ditetapkan dan Punishment dapat berupa sangsi penurun pangkat, muatsi, atau diberhentikan jika tidak bisa mencapai target pajak yang telah ditetapkan. Dengan begitu lebih memacu pegawai pajak untuk dapat bekerja dengan lebih maksimal.
PENUTUP
Pesan dari penulis adalah mari budayakan “BANGGA BAYAR PAJAK”, mulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang. Karena jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Semoga dengan semakin banyaknya rakyat yang sadar pajak, penerimaan negara meningkat, pembangunan dapat dilakukan, rakyat miskin berkurang, dan Indonesia akan menjadi negara yang terpandang.
Terima Kasih, semoga bermanfaat!

Oleh: Muhammad Irfan Maulana
Daftar Pustaka:
Prasetyo, Kristian Agung (2014). QUO VADIS TAX RATIO INDONESIA. http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12643-quo-vadis-tax-ratio-indonesia 
http://www.pajak.go.id/content/news/dirjen-pajak-tax-ratio-indonesia-tinggi-ada-kesalahan-penghitungan-tax-ratio, diakses tanggal 13 Januari 2015
Pohan, Cairil Anwar (2011). Optimizing Corporate Tax Management. Jakarta: Bumi Aksara
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_tax_revenue_as_percentage_of_GDP, diakses pada 13 Januari 2015
http://www.adb.org/publications/comparative-analysis-tax-administration-asia-and-pacific, diakses pada 14 Januari 2015
http://www.pajak.go.id/content/article/kewenangan-otoritas-pajak-untuk-meningkatkan-tax-ratio, diakses pada 14 Januari 2015

4 komentar:

A little about me

07.08 Unknown 0 Comments


Perkenalkan, gue Muhammad Irfan Maulana. Lahir di Jakarta 28 September 1992. Sekarang gue tinggal di Pekayon, Kota Bekasi, Jawa Barat.

Berbicara tentang pendidikan, gue termasuk orang dengan sekolah yang nomaden saat SD. Mungkin banyak yang mengalami hal serupa seperti gue karena tuntutan pekerjaan bokap. Yang terjauh gue pernah SD di Surabaya, tepatnya di SD Negeri Perak Barat IV saat kelas 2. Prestasi gue saat SD ga buruk-buruk banget, alhamdulillah gue selalu rangking 10 besar, bahkan saat kelas 2 gue bisa rangking ke-2 yang notabennya saat itu gue adalah pendatang dari Jakarta dan sama sekali ga bisa bahasa Jawa. Berlanjut ke SMP, gue melanjutkan ke SMPN 2 Tambun Selatan. Disini prestasi gue sempat menonjol, dari kelas 1-2 gue selalu rangking 3 besar, bahkan dikelas 2 gue berhasil rangking 1 dan gue dinobatkan menjadi “MURID TELADAN Peringkat-3 satu angkatan”. Gue juga masuk tim anak-anak yang disiapkan untuk olimpiade dari SMP gue. Tim ini berasal dari tes IQ yang diselenggarakan oleh pihak sekolah, dan anak-anak yang IQ nya diatas rata-rata berhak ikut tim olimpiade ini. Setiap sore pulang sekolah, kita selalu ada tambahan jadwal belajar dari tim guru. Berlanjut ke SMA, gue melanjutkan ke SMAN 1 Tambun Selatan (Bonlap). Saat kelas 2 gue bentuk geng namanya FBC (Famous Boys Club). Intinya geng ini adalah kumpulan cowok-cowok ganteng+eksis dibonlap (itu anggapan anggota FBC aja, aslinya ga ada yang ganteng apalagi eksis). Wkakak. Geng ini diketuai oleh gue sendiri, dan gue menjadi ketua abadi yang gak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Selain ganteng+eksis (katanya), anggota FBC juga punya prestasi yang cemerlang, alahamdulillah kampus-kampus beken dinegeri ini bisa disabet semua oleh FBC. Mulai dari Panji Pradana (STAN), Refaya Imanuel (STAN), Muhammad Ilham (STAN), Okky Bimbi (ITB), Andhika Rakhmanda (UGM), Ridwan (PNJ), Kemala Fajar (UI), Riski Trio (UPI), Rifky Fauzi (Unsoed), Dirga Alif (update terakhir, jadi penyiar radio), dan gue sendiri (STAN). FBC bukan hanya sekedar geng persahabatan, lebih dari itu, kita layaknya seperti saudara. Mungkin kisah FBC akan gue kupas tuntas di postingan-postingan berikutnya. Alhamdulillah juga sampai sekarang silaturahmi FBC masih terjaga, dan yang lebih utama adalah apapun pekerjaan kita nanti semoga kita bisa sukses di bidang kita sob.

Berlanjut ke kuliah, gue melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Berikut list organisasi dan kepanitiaan selama gue kuliah di STAN:
Year
Committee
2010
Part of Public Relation in Try Out SOMASI STAN
2010
Member of  SPEAK (Spealisasi Antikorupsi STAN)
2010
Member of  SOMASI (Solidaritas Mahasiswa Bekasi STAN)
2010
Member of Mentoring STAN at MBM
2011
Leader of Public Relation in Try Out SOMASI STAN
2011-2013
Vice Chairman at SOMASI
2011-2013
Vice Chairman at SPEAK
2011
PIC in Touring to KPK
2011
Part of Public Relation in W@TER (Workshop Audit Terapan)
2012
PIC in Coin for KPK
2012
Falilitator Management Artist Helmy Yahya and Edwin Manansang in Picset Program
2012
Graduation Committee sector Panggung in section Minister of Finance
2012
Executive Coordinator in SANY Program
2012
Fasilitator Management WamenKumHAM and KPK in SANY Program
2012
Committee of Qurban STAN
2013
Graduation Committee sector Panggung in D1 Pemda first
2013
Coordinator PKL STAN Regional Bekasi
2013
Executive Coordinator in Try Out SOMASI STAN
2013
Graduation Committee sector Panggung in D1 Pemda second
2013
Committee of USM STAN
2013
Coordinator in Sensus BMD DKI JAKARTA 2013
2014
Evaluation Team in Sensus BMD DKI JAKARTA 2013
2014
Committee of USM STAN
2014
Coordinator OJT in KPP Madya Bekasi

Alhamdulillah gue juga berhasil lulus dengan predikat “TERPUJI” atau “CUMLAUDE” di kampus ini (ballance antara Softskill dengan Hardskill). Bukan maksud gue untuk menyombongkan diri dengan segala prestasi yang pernah gue dapet, tapi gue hanya ingin berbagi sedikit perjalanan hidup gue. Guepun menyadari bahwa apa yang telah gue dapat sejauh ini belumlah apa-apa, dan semoga gue bisa mewujudkan mimpi gue untuk menjadi ekonom (amin). Mungkin segini dulu sekapur sirih dari gue, semoga postingan-postingan gue nanti diblog ini dapat bermanfaat khususnya untuk gue sendiri supaya bisa lebih baik dari sekarang.


Selamat Menikmati! Terimakasih.

0 komentar: